Friday, May 25, 2012

ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA SEBAGAI AKAR ILMU KOMUNIKASI

ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA 1. Pendahuluan Antropologi Sosial Budaya Antropologi Sosial-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya berhubungan dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah laku kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari disini bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli Antropologi disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia, baik itu kelompok kecil maupun kelompok yang sangat besar inilah yang menjadi objek spesial dari penelitian-penelitian Antropologi Sosial Budaya. Dalam perkembangannya Antropologi Sosial-Budaya ini memecah lagi kedalam bentuk-bentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang kajian yang dipelajari atau diteliti. Antroplogi Hukum yang mempelajari bentuk-bentuk hukum pada kelompok-kelompok masyarakat atau Antropologi Ekonomi yang mempelajari gejala-gejala serta bentuk-bentuk perekonomian pada kelompok-kelompok masyarakat adalah dua contoh dari sekian banyak bentuk spesialasi dalam Antropologi Sosial-Budaya. 2. Sejarah Perkembangan Ilmu Antropologi Sosial atau Budaya (Antropologi Sinkronik) Fase pertama sebelum 1800 an kedatangan orang eropa barat di benua afrika, asia dan Amerika skitar awal abat 15 sampai akhir abat 16, susku suku pribumi berbagai daerah tadi mulai terpengaruh oleh negara eropa barat. Banyak tulisan,catatan,diskripsi dari para musafir,pelaut pendeta eropa barat. berangkat dari beragam tulisan tadi para kalangan terpelajar eropa barat memiliki pandanganya yang mengganggap bahwa selain masyarakat eropa barat di anggap bahwa manusia manusianya adalah keturunan iblis atau manusia jadi jadian. Keanehan keanehan ini kemudian menarik hati para kalangan terpelajar eropa barat untuk meneliti adat istiadat serta benda benda kebudayaanya untuk di publikasikan kepada masyarakat eropa barat. Hal ini menimbulkan pemikir pemikran para ilmuan orang eropa barat untuk meneliti lebih lanjut dengan mengintregasikan bahan bahan etnografi tersebut yang ada menjadi satu. Fase kedua sekitar pertengahan abat ke 19, perkembangan ilmu antropologi ini bersifat akademis yaitu mempelajari masyarakat primitive dengan tujuan untuk mendapatkan segala pengertian tentang tingkat tingkat kuno dalam sejarah dalam sejarah evolusi dan sejarah persebaran kebudayaan manusia di muka bumi. Fase ketiga awal abat ke 20,pada fese ini perkembangan ilmu antropologi bersifat praktis yaitu mempelajari suku-suku primitive dengan tujuan untuk mengetahuai masyarakat belum kompleks pada suatau daerah yang dipelajari tersebut. tujuan dari ilmu antropologi yang praktis tersebut di cari untuk tujuan atau kepentingan pemerintahan suatu negara yang mempelajari suku tersebut guna untuk mengetahui masyarakat modern yang secara kompleks, karena mereka mengganggap bahwa mempelajari masyarakat yang belum komplek dapat menambah pengertian mengenai masyarakat modern yang kompleks. Fase ke empat, sekitar tahun 1930 an, pada fase terakhir ini perkembangan ilmu antropologi memiliki tujuan ganda yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis. Tujuan akademis adalah untuk mencapai pengertian manusia pada umumnya dengan mempelajari bebagai bentuk fisiknya, masyarakatnya dan kebudayaanya. Sedangkan tujuan praktisnya adalah mengingat bahwa antroplogi mempelajari masyarakat suku bangsa tujuan praktis ini mempelajari masyarakat beragam suku bangsa guna untuk membangun masyarakat masyarakat suku bangsa tersebut agar lebih baik. 3. Persamaan dan perbedaan Antropologi sosial (budaya) dengan Sosiologi Sekilas antara ilmu antropologi sosial atau budaya (antropologi sinkronik) dengan sosiologi tidak ada perbedaan sama sekali. Antropologi sosial atau budaya mengkaji tentang masyarakat dan kebudayaan untuk mencari unsur unsur yang sama dan kebudayaan di dalam masyarakat tersebut yang bertujuan untuk mencapai pengertian asas asas kehidupan masyarakat dan kebudayaan pada umumnya dan inipun merupakan suatau kajian dari sosiologi. Dengan demikian kajian kedua ilmu tersebut sama yaiatu objeknya adalah masyarakat, akan tetapi ada perbedaan yang mendasar antara kedua ilmu tersebut : 1. Kedua ilmu itu masing masing mempunyai asal mula dan sejarah yang berbeda. 2. Perbedaan sejak awal tersebut menyebabkan pengkhususan pada pokok dan bahan penelitian dari kedua ilmu tersebut; 3. Perbedaan sejak awal tersebut juga telah menyebabkan berkembangnya metode metode dan masalah masalah yang khusus pada kedua ilmu tersebut. Sejarah perkembangan ilmu Antropologi Sosial Budaya telah kita jelaskan pada Bab di atas, sedangkan untuk sejarah perkembangan ilmu Sosiologi adalah, ilmu sosiologi pada mulanya berangkat dari ilmu filsafat. Dalam menganalisa masalah masalah mengenai sains para ahli filsafat juga memikirkan masalah masalah sosial sehingga munculah filsafat sosial. Pada fase fase perkembanganya sejak abad ke-19 seseuai dengan perubahan filsafat, konsep konsep serta teori teori dan cara berfikir orang eropa barat filsafat sosial ini juga mengalami perubahan. Ketika krisis melanda masyarakat eropa barat akibat adanya revolusi prancis dan revolusi industri dan lain sebagainya. Kegiatan menganalisa masyarakat semakin diperkuat. Para ahli filsafat seperti H. de saint-simon (1760-1825) dan A.comte (1789-1857) menyadari mengenai sifat positif dari semua cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu tentang relasi masyarakat maka dari itulah muncul suatu ilmu sendiri yaitu Sosiologi.ilmu ini menjadi lebih valid dan diakui oleh dunia baru pada tahun 1925. Dengan demikian antara antropologi budaya atau sosial dan sosiologi memiliki perbedaan yang mendasar. Antropologi budaya atau sosiologi berangkat dari himpunan himpunan suatu tulisan dan keterangan tentang berbagai masyarakat dan kebudayaan masyarakat Inlander bukan Eropa, yang menjadi suatu ilmu khusus karena adanya suatu kepentingan untuk mencapai pengertian mengenai tingkat tingkat perkembangan masyarakat dan kebudayaan bangsa Eropa barat. Sedangkan Sosiologi berawal dari suatu ilmu filsafat yang pada fase perkembanganya menjadi suatu ilmu khusus, karena ketika itu masyarakat dilanda krisis krisis sangat memerlukan suatu pengertian yang mendalam tentang asas asa manusia dan kebudayaan suatu masyarakat. 4. Arti Kebudayaan 4.1. Definisi Menurut Antropologi Menurut para ahli biologi manusia adalah salah satu di antara hampir sejuta jenis makhluk lain yang hidup di alam dunia ini, yang terdiri dari makhluk-makhluk yang sangat sederhana ragawinya, seperti misalnya protozoa, hingga jenis makhluk yang sangat kompleks, yaitu Primat. Namun, di antara semua makhluk itu manusia memiliki keunggulan, yaitu kebudayaan, yang memungkinkannya hidup di segala macam lingkungan alam, sehingga ia menjadi makhluk yang paling berkuasa dimanapun ia berada. Walaupun demikian, segala kemampuan manusia itu tidak merupakan bawaan dari alam (yang juga dinamakan “naluri”, karena sudah terprogram di dalam gennya, seperti halnya pada hewan), tetapi harus dikuasainya dengan belajar. Dalam antropologi, yang meneliti dan menganalisa berbagai cara hidup manusia dan berbagai sistem tindakan manusia, aspek belajar merupakan aspek pokok. Karena itu dalam memberi batasan kepada konsep “kebudayaan”, antropologi seringkali sangat berbeda dengan berbagai ilmu lain. Arti “kebudayaan” dalam bahasa sehari-hari pun umumnya terbatas pada segala sesuatu yang indah, misalnya candi, tarian, seni rupa, seni suara, kesasteraan, dan filsafat. Menurut antropologi, “Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Dengan demikian hampir semua tindakan manusia adalah “kebudayaan”, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakannya dengan belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang dilakukan akibat suatu proses fisiologi, maupun berbagai tindakan membabibuta), sangat terbatas. Bahkan berbagai tindakan yang merupakan nalurinya (misalnya makan, minum, dan berjalan) juga telah banyak dirombak oleh manusia sendiri sehingga menjadi tindakan berkebudayaan. Manusia makan pada waktu-waktu yang dianggap wajar dan pantas; ia makan dan minum dengan menggunakan alat-alat, cara-cara, serta sopan-santun atau protokol yang kadang-kadang sangat rumit, yang harusnya dipelajarinya dengan susah payah. Berjalanpun tidak dilakukannya lagi sesuai dengan wujud organismenya yang telah ditentukan oleh alam, karena gaya berjalan itu telah disesuaikan dengan berbagai gaya berjalan yang harus dipelajarinya terlebih dahulu yaitu misalnya gaya berjalan seorang prajurit atau peragawati, atau gaya berjalan yang lemah-lembut. Definisi yang menganggap bahwa kebudayaan dan tindakan kebudayaan merupakan segala tindakan yang harus dibiasakan dengan belajar diajukan oleh ahli-ahli antropologi C. Wissler, C. Luckhohn, A. Davis dan A. Hoebel. Definisi-definisi yang mereka ajukan hanya beberapa saja di antara sejumlah definisi lain yang ada, baik definisi-definisi yang diajukan oleh para pakar antropologi, maupun para ahli ilmu-ilmu sosiologi, filsafat, sejarah, dan kesusateraan. Sebanyak 176 definisi mengenai “kebudayaan” yang pernah muncul dalam berbagai tulisan telah berhasil dikumpulkan oleh A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn, yang kemudian mereka analisa dan cari latar belakang, prinsip, serta intinya, lalu diklasifikasikan ke dalam sembilan tipe definisi. Hasil penelitian ini mereka terbitkan bersama dalam buku berjudul Culture: A Critical Review Of Concepst And Definitions (1952). Istilah “Kebudayaan” dan “Culture”. Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari Buddhi yang berarti “budi” atau “kekel”. Kata asing culture yang berasal dari kata Latin colere (yaitu “mengolah”, “mengerjakan”, dan terutama berhubungan dengan pengolahan tanah atau bertani), memiliki makna yang sama dengan “kebudayaan”, yang kemudia berkembang menjadi “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”. Perbedaan Antara Kebudayaan Dan Peradaban. Selain istilah “kebudayaan”, kita jug mengenal istilah “peradaban”, yang dalam bahasa Inggris disebut civilization, dan dipakai untuk menyebut bagian-bagian serta unsur-unsur dari kebudayaan yang sifatnya halus, maju, dan indah, seperti misalnya kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun serta pergaulan, kepandaian menulis, organisasi bernegar, dan lain-lain. Istilah “peradaban” sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, serta masyarakat kota yang maju dan kompleks. 4.2. Empat Wujud Kebudayaan Pakar sosiologi Talcott Parsons maupun pakar antropologi A.L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan antara wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari gagasan-gagasan serta konsep-konsep, dan wujudnya sebagai rangkaian tindakan serta aktivitas manusia yang berpola. Dalam rangka itu J.J. Honingmann membuat perbedaan atas tiga gejala kebudayaan, yakni (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. Namun demikian, penulis menyarankan agar kebudayaan dibeda-bedakan sesuai dengan empat wujudnya, yang secara simbolis digambarkan sebagai empat lingkaran kosentris. Lingkaran yang paling luar, dan karena itu letaknya pada bagian paling luar, melambangkan kebudayaan sebagai: 1. Artifacts, atau benda-benda fisik; 2. Lingkaran berikutnya (dan tentunya lebih kecil) melambangkan kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan tindakanyang berpola; 3. Lingkaran yang berikutnya lagi (dan lebih kecil daripada kedua lingkaran yang berada di sebelah “luar”-nya, melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan; dan 4. Lingkaran hitam yang letaknya paling dalam dan bentuknya juga paling kecil, dan merupakan pusat atau inti dari seluruh lingkaran tersebut, melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan yang ideologis. Contoh dari wujud konkret dari kebudayaan, yang dalam bagan digambarkan sebagai Lingkaran 1, yaitu yang paling besar, adalah antara lain bangunan-bangunan megah seperti candi Borobudur, benda-benda bergerak seperti kapal tangki, komputer, piring, gelas, kancing baju, dan lain-lain. Semua benda hasil karya manusia tersebut bersifat konkret dan dapat diraba serta difoto. Sebutan khusus bagi kebudayaan dalam wujud konkret ini adalah “kebudayaan fisik”. Lingkaran 2 menggambarkan wujud tingkah laku manusianya, yaitu misalnya menari, berbicar, tingkah laku dalam melakukan suatu pekerjaan, dan lain-lain. Kebudayaan dalam wujud ini masih bersifat konkret, dapat difoto, dan dapat difilm. Semua gerak-gerik yang dilakukan dari saat ke saat dan dari hari ke hari, dari masa ke masa, merupakan pola-pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem. Karena itu pola-pola tingkah laku yang dialakukan berdasarkan sistem. Karena itu pola-pola tingkah laku manusia disebut “sistem sosial”. Lingkaran 3 menggambarkan wujud gagasan dari kebudayaan, dan tempatnya adalah dalam kepala tiap individu warga kebudayaan yang bersangkutan, yang dibawanya ke mana pun ia pergi. Kebudayaan dalam wujud ini bersifat abstrak, tak dapat difoto dan difilm, dan hanya dapat diketahui serta dipahami (oleh warga kebudayaan lain) setelah ia mempelajarinya dengan mendalam, baik melalui wawancara yang intensif atau dengan membaca. Kebudayaan dalam wujud gagasan juga berpola dan berdasarkan sistem-sistem tertentu yang disebut “sistem budaya”. Lingkaran 4, yang pada bagan diberi warna hitam, adalah gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu kebudayaan sejak usia dini, dan karena itu sangat sukar diubah. Istilah untuk menyebut unsur-unsur kebudayaan yang merupakan pusat dari semua unsur yang lain itu adalah “nilai-nilai budaya”, yang menentukan sifat dan corak dari pikiran, cara berpikir, serta tingkah laku manusia suatu kebudayaan. Gagasan-gagasan inilah yang akhirnya menghasilkan berbagai benda yang diciptakan manusia berdasarkan nilai-nilai, pikiran dan tingkahlakunya. 4.3. Adat-Istiadat Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, Dan Ideologi. Sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Sebabnya ialah karena nilai budaya teridiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi pada kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan. Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup warga sesuatu masyarakat, sebagai konsep sifatnya sangat umum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justeru karena itulah ia berada dalam daerah emosional dari alam jiwa seseorang. Lagipula, sejak kecil orang telah diresapi oleh berbagai nilai budaya yang hidup di dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep budaya itu telah berakar dalam alam jiwanya. Karena itu untuk mengganti suatu nilai budaya yang telah dimiliki dengan nilai budaya lain diperlukan waktu lama. Dalam setiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang saling berkaitan dan bahkan telah merupakan suatu sistem. Sebagai pedoman dan konsep-konsep ideal, sistem itu menjadi pendorong yang kuat untuk mengarahkan kehidupan warga masyarakat. Suatu sistem nilai budaya seringkali merupakan suatu pandangan hidup, walaupun kedua istilah itu sebaiknya tidak disamakan. “Pandangan hidup” biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, dan yang telah dipilih secara selektif oleh individu-individu dan golongan-golongan dalam masyarakat. Dengan demikian, apabila “sistem nilai merupakan pedoman hidup yang dianut oleh suatu masyarakat maka “pandangan hidup” merupakan suatu pedoman yang dianut oleh golongan-golongan atau bahkan individu-individu tertentu dalam suatu masyarakat. Karena itu suatu pandangan hidup tidak berlaku bagi seluruh masyarakat. Konsep “ideologi” juga merupakan suatu sistem pedoman hidup (atau ciri-ciri) yang ingin dicapai oleh para warga suatu masyarakat, namun yang sifatnya lebih khusus daripada sistem nilai budaya. “Ideologi” dapat menyangkut seluruh masyarakat (dalam kenyataannya tentu ada terkecualian), tetapi dapat juga hanya golongan-golongan tertentu saja dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya, istilah “ideologi” umumnya tidak digunakan dalam hubungan dengan individu. Karena itu yang ada adalah “ideologi negara”, “ideologi suatu masyarakat”, “ideologi golongan”, dan lain-lain, tetapi kita tidak dapat mengatakan “ideologi si Anu”. Untuk hal yang terakhir kita mengatakan “cita-cita si Anu”. Ideologi suatu negara biasanya disusun secara sadar oleh para tokoh pemikirnya, yang akan berupaya untuk menyebarluaskannya kepada para warganya. Adat-istiadat, Norma, Dan Hukum. Dalam bagian di atas telah kita pelajari bahwa nilai-nilai budaya sebagai pedoman yang memberi arah serta orientasi kepada hidup, sangat umum sifatnya. Sebaliknya, norma yang terdiri dari aturan-aturan untuk bertindak sifatnya khusus, dan perumusannya pada umumnya sangat rinci, jelas, tegas, dan tidak meragukan. Apabila sifatnya terlalu umum, ruang lingkupnya terlalu luas dan perumusannya terlalu kabur, maka suatu norma tidak dapat mengatur tindakan individu, dan malahan dapat membingungkan pelaksanaannya. Norma-norma yang khusus itu dapat digolongkan menurut pranata-pranata masyarakat yang ada. Norma-norma yang ada dalam suatu pranata maupun dalam sub-sub pranatanya, tentu saling berkaitan, sehingga merupakan suatu sistem yang integral. Kecuali itu, norma-norma dalam suatu pranata tentu berkaitan pula dengan norma-norma dalam pranata-pranata lain yang berdekatan, sehingga seluruhnya menjadi sistem-sistem yang lebih luas, yang merupakan unsur-unsur kebudayaan universal. Dalam suatu masyarakat yang sederhana, di mana jumlah pranata yang ada dalam kehidupan masih sangat kecil, dan dimana jumlah norma dalam suatu pranata juga kecil, pengetahuan mengenai semua norma yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan masih dapat dikuasai oleh satu orang ahli adat saja. Namun apabila suatu masyarakat telah berkembang makin kompleks, sehingga jumlah pranata yang ada juga kian banyak, maka seorang ahli adat tidak mungkin dapat menguasai semuanya. Dalam masyarakat kompleks, jumlah norma dalam suatu pranata bahkan sudah sangat banyak, sehingga untuk satu pranata diperlukan sejumlah ahli. Mislanya, norma-norma pranata ekonomi telah menjadi demikian banyaknya, sehingga perlua ada seorang ahli khusus yang paham mengenai norma-norma koperasi, dan seterusnya. Di antara berbagai norma yang ada di dalam suatu masyarakat, ada yang dirasakan lebih besar daripada lainnya. Pelanggaran terhadap suatu norma yang dianggap tidak begitu berat umumnya tidak akan membawa akibat yang panjang, dan mungkin hanya menjadi bahan ejekan atau pergunjingan para warga masyarakat. Sebaliknya, ada norma-norma yang berakibat panjang apabila dilanggar, sehingga pelanggarannya bisa jadi dituntut, diadili, dan dihukum. Ahli sosiologi W.G. Sumner menyebut norma-norma golongan pertama folkways, dan norma-norma golongan yang kedua disebutnya mores. Istilah folkways dapat kita terjemahkan dengan “adat-istiadat dalam arti khusus”. Norma-norma dari golongan adat-istiadat yang mempunyai akibat yang panjang juga merupakan “hukum”, walaupun mores seperti yang dikonsepsikan oleh Sumner hendaknya kita disamakan dengan “hukum”, karena norma-norma yang mengatur upacara suci tertentu juga tergolong mores (dalam banyak kebudayaan, norma-norma seperti itu dianggap berat, dan pelanggaran terhadapnya dapat menyebabkan ketegangan dalam masyarakat yang berakibat panjang, walaupun pelanggaran terhadap norma-norma seperti itu belum tentu mempunyai akibat hukum). Dengan demikian perlu kita ketahui dengan cermat, perbedaan antara norma-norma yang tergolong hukum dan norma-norma yang tergolong hukum dan norma-norma yang tergolong hukum adat. Perbedaan antara “adat” dan “hukum adat” (yaitu antara ciri-ciri dasar dari hukum dan hukum adat) sejak lama telah menjadi buah pikiran para ahli antropologi. Ada golongan ahli antropologi yang beranggapan bahwa dalam masyarakat yang tak bernegara (misalnya kelompok-kelompok pemburu dan peramu, serta para peladang yang hidup di daerah yang terpencil), tidak terdapat aktivitas hukum, karena definisi para ahli mengenai “hukum” mereka batasi pada aktivitas-aktivitas hukum seperti yang terdapat dalam masyarakat yang sifatnya memaksa, dan diperkuat oleh suatu sistem alat kekuasaan yang diorganisir oleh negara). Salah seorang penganut pendirian ini adalah A.R. Radcliffe-Brown, yang mengatakan bahwa masyarakat-masyarakat yang tidak memiliki hukum seperti itu mampu menjaga tata tertib karena mereka memiliki suatu kompleks norma-norma umum (yaitu adat) yang sifatnya mantap dan ditaati oleh semua warganya. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi secara otomatis akan menimbulkan reaksi dari masyarakat, sehingga pelanggarnya akan dikenai hukuman. Mengenai hal ini, lihat antara lain pendirian Radcliffe-Brown dalam tulisannya yang berjudul “Primitive Law”, dalam “Encyclopedia Of The Social Sciences”. Para ahli yang menganut pendirian yang kedua, yaitu antara lain B. Malinoswki, tidak hanya mengkhususkan definisi mereka tentang hukum dalam masyarakat bernegara yang dilengkapi dengan suatu sistem alat-alat kekuasaan saja. Menurut mereka, antara “hukum” dalam masyarakat bernegara dan “hukum” dalam masyarakat terbelakang ada dasar yang universal sifatnya. Dengan membandingkan beragam masyarakat dan kebudayaan di muka bumi, para ahli ini mengajukan konsepsi tentang dasar dari hukum pada umumnya, yaitu bahwa semua aktivitas kebudayaan berfungsi untuk memenuhi sejumlah hasrat naluri manusia (antara lain hasrat untuk saling memberi dan saling menerima, yang oleh Malinowski disebut the principle of reciprocity). Di antara berbagai aktivitas kebudayaan seperti itu termasuk pula hukum sebagai unsur kebudayaan yang sifatnya universal. Di atas telah disinggung bahwa di antara para ahli hukum ada Indonesia, hanya B. Ter Haar yang pernah memikirkan tentang batas antara adat dan hukum adat. Menurut Ter Haar, pedoman untuk mengetahui kapan suatu kasus dalam suatu masyarakat dengan adat dan sistem hukum yang tidak dikodifikasikan, merupakan kasus atau tidak, adalah keputusan-keputusan para individu pemegang kekuasaan dalam masyarakat. Pendirian ini diajukannya dalam beberapa pidato ilmiah yang pernah diucapkannya, antara lain pidato berjudul Het Adatprivaatrecht Van Nederlandsh-Indie In Wetenschap, Praktijk En Onderwijs (1937). Pendirian ini lebih dekat pada pendirian Radcliffe-Brown, baik dalam hukum maupun dalam hukum adat, dan sifat “paksaan” yang datang dari atas senantiasa ada. Dalam masyarakat yang tidak mengenal negara sebagai organisasi yang bersifat memaksa, paksaan dilakukan oleh golongan yang berkuasa, yang ada dalam setiap jenis masyarakat. 4.4. Unsur-Unsur Kebudayaan Unsur-unsur kebudayaan universal, dalam menganalisa suatu kebudayaan (misalnya saja kebudayaan Minangkabau, Bali, atau jepang), seorang ahli antropologi membagi seluruh kebudayaan yang terintegrasi itu ke dalam unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal”. Mengenai hal ini ada beberapa pandangan, seperti yang diuraikan oleh C. Kluckhohn dalam karangannya berjudul Universal Categories Of Culture (1953). Dengan mengambil intisari dari berbagai kerangka yang ada mengenai unsur-unsur kebudayaan universal, unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia berjumlah tujuh buah, yang dapat disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan, yaitu: 1. Bahasa 2. Sistem pengetahuan 3. Organisasi sosial 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi 5. Sistem mata pencaharian hidup 6. Sistem religi 7. Kesenian Tiap unsur kebudayaan universal tentu juga terdapat dalam ketiga wujud kebudayaan terurai di atas (wujud berupa sistem budaya, sistem sosial, dan unsur-unsur kebudayaan fisiknya). Dengan demikian sistem ekonomi dapat berupa konsep, rencana, kebijakan, adat-istiadat yang ada hubungannya dengan ekonomi, tetapi juga berupa konsep, rencana, kebijakan, adat-istiadat yang ada hubungannya dengan ekonomi, tetapi juga berupa tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, ahli transpor, dan pengecer dengan para konsumen, atau berbagi unsurnya, seperti peralatan, komoditi, dan benda-benda ekonomi. Serupa dengan hal tersebut di atas, sistem religi dapat mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, ruh-ruh halus, neraka, surga, dan lain-lain, tetapi juga sebagai berbagai bentuk upacara (baik yang musiman maupun yang kadangkala), maupun berupa benda-benda suci serta religius. Kesenian pun dapat berwujud berbagai gagasan, ciptaan, pikiran, dongeng, atau syair yang indah, tetapi juga dapat mempunyai wujud sebagai berbagai tindakan interaksi berpola antara sesama seniman pencipta, penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar, penonton, maupun para peminat hasil kesenian, disamping wujudnya berupa benda-benda yang indah, candi, kain tenun yang indah, dan lain-lain. 4.5. Integrasi Kebudayaan Metode Holistik. Cara menganalisa suatu kebudayaan tidak hanya dilakukan dengan berbagai cara merincinya ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil yang dipelajari secara mendetil saja, tetapi juga dengan memahami kaitan antara setiap unsur kecil tersebut serta kaitan antara unsur-unsur kecil itu dengan keseluruhannya. Istilah “holistik” adalah untuk menggambarkan metode pendekatan yang dilakukan terhadap suatu kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang integral. Antropologi memang telah mengembankan beberapa konsep guna memahami berbagai kaitan antara unsur-unsur kecil dalam suatu kebudayaan, dan para ahli tentu juga telah paham akan adanya integrasi atau jaringan berkait antara unsur-unsur kebudayaan itu. Namun perlunya mempelajari masalah integrasi kebudayaan itu secara lebih mendalam baru disadari setelah tahun 1920. Karena itu muncul konsep-konsep untuk menganalisa masalah integrasi kebudayaan, yakni pikiran kolektif, fungsi dari unsur-unsur kebudayaan, fokus kebudayaan, etos kebudayaan, dan kepribadian umum. Menurut Durkheim, apabila suatu kompleks pikiran kolektif sudah terbentuk dan menjadi mantap, maka seluruh kompleks itu berada di luar diri si individu karena seluruh pikiran kolektif serta gagasan-gagasan yang merupakan unsur-unsurnya akan tersimpa dalam bahasa dan dapat tetap dimiliki oleh generasi-generasi berikutnya. Selain di luar individu, pikiran kolektif juga berada di atas para warga suatu masyarakat, sehingga menjadi pedoman tingkah laku mereka. Beberapa ahli antropologi lain berusaha mencapai pengertian mengenai integrasi kebudayaan dan jaringan berkait antara unsur-unsurnya dengan meneliti fungsi unsur-unsur tersebut. Istilah “fungsi” dapat digunakan dalam bahasa sehari-hari maupun bahasa ilmiah dengan arti yang berbeda-beda. Pemakaian istilah itu dalam tulisan-tulisan ilmiah menurut ahli antropologi M.E. Spiro adalah untuk: 1. Menerangkan fungsi itu sebagai hubungan antara sesuatu hal dengan suatu tujuan tertentu (misalnya mobil mempunyai fungsi sebagai alat untuk mengangkut manusia atau barang dari suatu tempat ke tempat lain); 2. Menjelaskan kaitan antara suatu hal (X) dengan hal lain (Y), sehingga apabila nilai S berubah, maka nilai Y yang ditentukan oleh X, juga berubah; 3. Menerangkan hubungan yang terjadi antara suatu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang terintegrasi (suatu bagian dari organisme yang berubah menyebabkan perubahan pada berbagai bagian lain dan bahkan dapat menyebabkan perubahan dari seluruh organisme). “Fungsi” dalam arti yang pertama merupakan istilah yang umum, baik dalam bahasa ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari. Dalam ilmu pasti, tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial, artinya yang kedua dari istilah itu sangat penting, dan dalam artinya yang ketiga terkandung kesadaran akan adanya integrasi kebudayaan. Fokus Kebudayaan. Dalam berbagai kebudayaan terdapat satu atau beberapa unsur kebudayaan atau pranata yang menjadi unsur pusat dalam kebudayaan yang bersangkutan, sehingga unsur tersebut digemari oleh warga masyarakat dan mendominasi berbagai aktivitas atau pranata lain yang ada. Contohnya adalah kesenian dalam masyarakat orang Bali, gerakan kebatinan dan mistik dalam kebudayaan golongan pegawai negeri ( yaitu priyayi) di Jawa Tengah, perang antarfederasi kelompok kekerabatan dalam masyarakatsuku bangsa Dani di Irian Jaya (yang sejak tahun 1970-an sudah tidak diperkenankan lagi), atau kula dalam masyarakat penduduk Trobriand. Suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampaknya sangat digemari warga masyarakatnya sehingga mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan, oleh ahli antropologi Amerika R. Linton disebut cultural interest atau social interest. Untuk penggunaannya dalam bahasa Indonesia, penulis mengusulkan istilah “fokus kebudayaan”, yaitu suatu istilah yang untuk pertama kali digunakan oleh M.J. Herskovits. Etos Kebudayaan. Dari suatu kebudayaan dapat tampak suatu watak khas (ethos), seperti yang tampak misalnya pada gaya tingkah laku, kegemaran, atau benda-benda budaya hasil karya para warga masyarakatnya. Dengan demikian orang Batak yang mengamati kebudayaan Jawa yang baginya asing, mungkin akan mengatakan bahwa watak khas kebudayaan Jawa memancrkan keselarasan, kesuraman, ketenangan yang berlebihan sehingga dapat disebut lamban, kebiasaan serta tingkah laku yang mendetil, dan gema akan karya serta gagasan yang berbelit-belit. Gambarannya mengenai watak kebudayaan Jawa itu kemudian mungkin diilustrasikannya sebagai berikut: memiliki bahasa yang terpecah ke dalam tingkat-tingkat bahasayang sangat rumit dan rinci, sopan-santun dan gaya tingkah laku yang mencela gaya bicara dan tertawa yang keras, gerak-gerik yang ribut dan agresif, tetapi menilai tinggi tingkah laku yang tenang tetapi tidak tergoyahkan, kesenangan akan warna-warna gelap, seni suara gamelan yang tidak keras, benda-benda kesenian dan kerajinan dengan hiasan-hiasan yang sangat mendetil, dan lain-lain. Dengan cara menganalisa adat sopan-santun, upacara-upacara keagamaan, cerita-cerita mitologi, ataupun hasil kerajinan serta kesenian dalam keempat kebudayaan tersebut diatas, menurut Benedict warga kebudayaan Crow bersifat agresif, berwatak kaku, menghargai inisiatif, dan beranggapan bahwa keteguhan iman diperoleh dengan jalan menyakiti diri sendiri dan memilih jalan yang sukar. Karena sifat-sifat tersebut mirip dengan sifat-sifat dimiliki oleh Dewa Dionysus dalam mitologi Yunani Klasik, kebudayaan Indian Crow olehnnya disebut memiliki watak Dionysian. 4.6. Kebudayaan Dan Kerangka Teori Tindakan Definisi mengenai kebudayaan mengandung beberapa pengertian penting, yaitu bahwa kebudayaan hanya dimiliki oleh makhluk manusia; bahwa kebudayaan mula-mula hanya merupakan satu aspek saja dari proses evolusi manusia, yang kemudian menyebabkan bahwa manusia dapat melepaskan diri dari alam kehidupan makhluk-makhluk Primat lainnya; dan bahwa akhir-akhir ini kebudayaan seakan-akan berkembang menjadi suatu gejala superorganik. Walaupun demikian, karena kebudayaan yang berwujud gagasan dan tingkah laku manusia berasal dari otak dan tubuhnya, kebudayaan tetap berakar di dalam sistem organiknya. Kecuali itu, kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari kepribadian atau watak individu, yang terbentuk melalui suatu proses belajar yang panjang, sehingga menjadi bagian dari warga masyarakat yang bersangkutan. Dalam proses itu kepribadian atau watak individu berpengaruh pada perkembangan kebudayaannya. Dengan demikian pola-pola gagasan dan tindakan-tindakan manusia ditata, dikendalikan, dan dimantapkan oleh berbagai sistem nilai dan norma yang seakan-akan berada diatasnya. Dalam kerangka tersebut terkandung konsepsi baha dalam menganalisa suatu kebudayaan secara keseluruhan perlu dibuat perbedaan yang tajam antara komponen-komponennya, yaitu: 1. Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak, dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-konsep, tema-tema berpikir, serta keyakinan-keyakinan. Dengan demikian suatu sistem budaya merupakan bagian dari kebudayaan, yang dalam bahasa Indonesia lebih lazim disebut “adat-istiadat”. Fungsi dari sistem budaya adalah menata serta menetapkan tindakan-tindakan dan tingkah laku manusia. 2. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas atau tindakan-tindakan berinteraksi antarindividu yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai tindakan-tindakan berpola yang saling berkaitan, sistem sosial lebih konkret dan nyata sifatnya daripada sistem budaya, sehingga semuanya dapat dilihat dan diobservasi. Interaksi manusia itu di satu pihak lain dibudayakan menjadi pranata-pranata oleh nilai-nilai dan norma-norma tersebut. Di atas telah diuraikan metode untuk merinci pranata-pranata serta unsur-unsur kebudyaan yang mungkin ada dalam berbagai masyarakat manusia. 3. Sistem kepribadian adalah segala hal yang menyangkut isi jiwa serta watak individu dalam interaksinya sebagai warga dari suatu masyarakat. Walaupun kepribadian para individu dalam suatu masyarakat berbeda-beda, kepribadian juga terbentuk berkat adanya rangsangan dan pengaruh dari nilai-nilai serta norma-norma yang terdapat dalam sistem budayanya, dan adanya pola-pola bertindakdalam sistem sosial yang telah dijadikannya bagian dari dirinya melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan sejak masa kanak-kanak. Dengan demikian, sistem kepribadian berfungsi sebagai sumber motivasi bagi berbagai tindakan sosial seseorang. 4. Sistem organik merupakan pelengkap bagi seluruh kerangka, yang melibatkan proses biologi serta biokimia yang terdapat dalam diri manusia. Apabila kita pikirkan lebih mendalam, kepribadian, pola-pola tindakan, serta gagasan-gagasan yang dicetuskan seseorang turut menentukan sistem organiknya. Sebagian dair kerangka Teori Tindakan yang dihasilkan Kelompok Studi Harvard pimpinan Talcott Parsons. 5. Sistem Sosial Budaya Sistem sosial budaya merupakan konsep untuk menelaah asumsi-asumsi dasar dalam kehidupan masyarakat. Pemberian makna konsep sistem sosial budaya dianggap penting karena tidak hanya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem sosial budaya itu sendiri tetapi memberikan eksplanasi deskripsinhya melalui kenyataan di dalam kehidupan masyarakat. Pengertian Konsep Konsep merupakan ide, gagasan, atau pemikiran-pemikiran yang mentadi dasar (pembawa arti). Pada dasarnya konsep masih berwujud abstrak atu hanya angan-angan saja. Sistem Sosial Budaya Sistem merupakan pola-pola keteraturan; kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang saling berhubungan, Budaya sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri Komponen Utama dalam Kebudayaan 1. Kebudayaan Material, Mengacu pada semua ciptaan manusia yang konkret; 2. Kebudayaan Nonmaterial, Ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi Jadi, konsep dalam sistem sosial budaya dapat dideskripsikan sebagai suatu pemikiran dan ide yang berisikan mengenai komponen-komponen pembentuk kebudayaan suatu masyarakat. Pengertian Sistem Sosial Budaya Pengertian sistem menurut Tatang M. Amirin, “Sistem berasal dari bahasa Yunani yang berarti, suatu hubungan yang tersusun atas sebagian-bagian, hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur. Sosial berarti segala sesuatu yang beralian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyaakat dari orang atau sekelompok orang yang didalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nila-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Budaya berarti cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang didalamnya tercakup pula segala hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik material maupun yang psikologis, ideal, dan spiritual. Kehidupan Masyarakat Sebagai Sistem Sosial dan Budaya Kehidupan masyarakat dipandang sebagai suatu sistem atau sistem sosial, yaitu suatu keseluruhan bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan dalam suatu kesatuan. Alvin L. Bertrand, suatu sistem sosial terdapat dua orang atau lebih, terjadi interaksi antara mereka, bertujuan, dan memiliki struktur, harapan-harapan bersama yang didomainnya. Dalam sistem sosial pada umumnya terdapat proses yang saling mempengaruhi. Hal ini disebabkan karena adanya saling keterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya. Margono Slamet, sistem sosial dipengaruhi oleh ekologi; demografi; kebudayaan; kepribadian; waktu, sejarah, dan latar belakang. Ciri utama sstem sosial menerima unsur-unsur dari luar (terbuka). Namun juga menimbulkan terjalinnya ikatan antarunsur-unsur dengan unsur lainnya (internal) dan saling pertukaran antara sistem sosial itu sendiri dengan lingkungannya (eksternal). Proses-proses dalam sistem sosial: a. Komunikasi; b. Memelihara tapal batas; c. Penjalinan sistem; d. Sosialisasi; e. Pengawasan sosial; f. Pelembagaan; g. Perubahan sosial. Kehidupan Masyarakat Sebagai Sistem Budaya, mempelajari tentang sistem bertindak terhadap perilaku, unsur perilaku → “gerak sosial”, dengan 4 syarat yaiut untuk mencapai tujuan tertentu, terjadi pada situasi tertentu, diatur kaidah tertentu, dan didorong motivasi tertentu. Hakikat beberapa subsistem tsb sbg pengaturan/cybernetic order adalah tiap subsistem yang berada diatasnya menjadi pengatur untuk subsistem dibawahnya. Menurut Parsons, ke 4 subsistem bertindak sbg kebutuhan fungsional yg disebut sbg imperative functional LIGA. Gerak Sistem Sosial • Subsistem budaya (Latent patern maintenance); fungsi mempertahankan pola. Subsistem budaya memberi jawaban terhadap masalah dari faktor-faktor falsafah hidup. • Subsistem sosial (Integration); fungsi integrasi mencakup faktor-faktor penting dalam mencapai keadaan serasi antar sistem. • Subsistem kepribadian (Goal attaintment); fungsi mencapai tujuan. Faktor penentunya adalah pengembangan sistem untuk menjunjung nilai dan kaidah dan pengorganisasian untuk mencapai tujuan bersama. • Subsistem organisasi perilaku (Adaptation); fungsi adaptasi. Mencakup pengarahan dan penyesuaian kebutuhan pokok manusia dengan keadaan sekitar. 6. Adaptasi terhadap lingkungan alam dan sosial 6.1. Pola Adaptasi Sosial Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi (Gerungan,1991:55). Menurut Karta Sapoetra adaptasi mempunyai dua arti. Adaptasi yang pertama disebut penyesuaian diri yang autoplastis (auto artinya sendiri, plastis artinya bentuk), sedangkan pengertian yang kedua disebut penyesuaian diri yang allopstatis (allo artinya yang lain, palstis artinya bentuk). Jadi adaptasi ada yang artinya “pasif” yang mana kegiatan pribadi di tentukan oleh lingkungan. Dan ada yang artinya “aktif”, yang mana pribadi mempengaruhi lingkungan (Karta Sapoetra,1987:50). Menurut Suparlan (Suparlan,1993:20) adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Syarat-syarat dasar tersebut mencakup: 1. Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya); 2. Syarat dasar kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan gelisah). 3. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh). Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni: 1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. 2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. 4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan. 5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem. 6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan. Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut, Aminuddin menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu (Aminuddin, 2000: 38), di antaranya: a. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan; b. Menyalurkan ketegangan sosial; c. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial; d. Bertahan hidup. Di dalam adaptasi juga terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Suyono (1985), pola adalah suatu rangkaian unsur-unsur yang sudah menetap mengenai suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal menggambarkan atau mendeskripsikan gejala itu sendiri. Dari definisi tersebut diatas, pola adaptasi dalam penelitian ini adalah sebagai unsur-unsur yang sudah menetap dalam proses adaptasi yang dapat menggambarkan proses adaptasi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam interaksi, tingkah laku maupun dari masing-masing adat- istiadat kebudayaan yang ada. Proses adaptasi berlangsung dalam suatu perjalanan waktu yang tidak dapat diperhitungkan dengan tepat. Kurun waktunya bisa cepat, lambat, atau justru berakhir dengan kegagalan. Bagi manusia, lingkungan yang paling dekat dan nyata adalah alam fisio- organik. Baik lokasi fisik geografis sebagai tempat pemukiman yang sedikit banyaknya mempengaruhi ciri-ciri psikologisnya, maupun kebutuhan biologis yang harus dipenuhinya, keduanya merupakan lingkungan alam fisio-organik tempat manusia beradaptasi untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Alam fisio organik disebut juga lingkungan eksternal. Adaptasi dan campur tangan terhadap lingkungan eksternal merupakan fungsi kultural dan fungsi sosial dalam mengorganisasikan kemampuan manusia yang disebut teknologi. Keseluruhan prosedur adaptasi dan campur tangan terhadap lingkungan eksternal, termasuk keterampilan, keahlian teknik, dan peralatan mulai dari alat primitif samapai kepada komputer elektronis yang secara bersama-sama memungkinkan pengendalian aktif dan mengubah objek fisik serta lingkungan biologis untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup manusia. (Alimandan, 1995:56). Stategi adaptasi yang dilakukan dalam masyarakat pasca bencana alam dapat dilakukan dengan penanggulangan bencana alam yang tepat, agar masyarakat bisa aktif kembali pasca bencana alam. Besarnya potensi ancaman bencana alam yang setiap saat dapat mengancam dan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia serta guna meminimalkan risiko pada kejadian mendatang, perlu disikapi dengan meningkatkan kapasitas dalam penanganan dan pengurangan risiko bencana baik di tingkat Pemerintah maupun masyarakat. Sejauh ini telah tersedia perangkat regulasi penanggulangan bencana, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 yang memberikan kerangka penanggulangan bencana, meliputi prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Aktivitas penanggulangan bencana yang menjadi prioritas utama meliputi: mitigasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. 1. Mitigasi yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah apa yang akan terjadi terutama berdampak negatif pada lingkungan akibat bencana alam. 2. Rehabilitasi yaitu pemulihan kembali yang dilakukan terhadap kerusakan- kerusakan berupa fisik dan infrastruktur akibat bencana alam. 3. Rekontruksi yaitu membangun kembali dari kerusakan kerusakan yang terjadi akibat bencana alam. Penaggulangan bencana yang telah ditetpakan pemerintah dibuat guna membangun kembali daerah yang terkena bencana menggingat indonesia rawan akan bencana alam. 6.2. Perubahan Sosial Setiap kehidupan manusia akan mengalami perubahan. Perubahan itu dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola prilaku, perekonomian, lapisan- lapisan sosial dalam masyarakat, interaksi sosial dan yang lainya. Perubahan sosial terjadi pada semua masyarakat dalam setiap proses dan waktu, dampak perubahan tersebut dapat berakibat positif dan negatif. Terjadinya perubahan merupakan gejala yang wajar dalam kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena setiap manusia mempunyai kepentingan yang tidak terbatas. Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat secara suka rela atau di pengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya dan sistem sosial yang baru. Perubahan sosial terjadi pada dasarnya karena ada anggota masyarakat pada waktu tertentu merasa tidak puas lagi terhadap keadaan kehidupanya yang lama dan menganggap sudah tidak puas lagi atau tidak memadai untuk memenuhi kehidupan yang baru. Menurut Gillin dan Gillin (Abdulsyani,2002:163) perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Selain itu, Selo Soemardjan berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang memepengaruhi sistem sosial lainya, termasuk didalam nilai-nilai, sikap, dan pola prilaku antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Soerjono Soekanto (2000:338) berpendapat bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis, teknologis dan geografis, atau biologis yang menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Sebaliknya ada pula yang mengatakan bahwa semua kondisi tersebut sama pentingnya, satu atau semua akan menghasilkan perubahan-perubahan sosial. Adapun yang menjadi ciri-ciri perubahan sosial itu sendiri antara lain: a. Perubahan sosial terjadi secara terus menerus; b. Perubahan sosial selalu diikuti oleh perubahan-perubahan sosial lainnya; c. Perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara karena berada di dalam proses penyesuaian diri; d. Setiap masyarakat mengalami perubahan (masyarakat dinamis) Faktor Penyebab Perubahan Sosial: Perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi berpendapat bahwa perubahan sosial dapat bersumber dari dalam masyarakat (internal) dan faktor dari luar masyarakat (eksternal). 1. Faktor internal Perubahan sosial dapat disebakan oleh perubahan-perubahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Adapun faktor tersebut antara lain: a. Perkembangan ilmu pengetahuan, Penemuan-penemuan baru akibat perkembangan ilmu pengetahuan, baik berupa teknologi maupun berupa gagasan-gagasan menyebar kemasyarakat, dikenal, diakui, dan selanjutnya diterima serta menimbulkan perubahan sosial. b. Kependudukan, faktor ini berkaitan erat dengan bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk. c. Penemuan baru untuk memenuhi kebutuhannya, manusia berusaha untuk mencoba hal-hal yang baru. Pada suatu saat orang akan menemukan suatu yang baru baik berupa ide maupun benda. Penemuan baru sering berpengaruh terhadap bidang atau aspek lain. d. Konflik dalam masyarakat, adanya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat menyebabkan perubahan sosial dan budaya, pertentangan antara indvidu, individu dengan kelompok maupun antar kelompok sebenarnya didasari oleh perbedaan kepentingan. 2. Faktor eksternal Perubahan sosial disebabkan oleh perubahan-perubahan dari luar masyarakat itu sendiri seperti: a. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, Adanya interaksi langsung (tatap muka) antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya akan menyebabkan saling berpengaruh. Disamping itu, pengaruh dapat berlangsung melalui komunikasi satu arah, yakni komunikasi masyarakat dengan media-media massa. b. Peperangan, Terjadinya perang antar suku atau antar negara akan berakibat munculnya perubahan-perubahan pada suku atau negara yang kalah. Pada umumnya mereka akan memaksakan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh masyarakatnya, ataupun kebudayaan yang dimilikinya kepada suku atau negara yang mengalami kekalahan. c. Perubahan dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia, terjadinya gempa bumi, topan, banjir besar, gunung meletus dan lain-lain mungkin menyebabkan masyarakat-masyarakat yang mendiami daerah- daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya dan kemungkinan masih bertahan di daerahnya tersebut. Hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatanya karena masyarakatnya harus memulai kehidupan baru kembali. Sebab yang bersuber dari lingkungan alam fisik kadang-kadang ditimbulkan oleh tindakan para warga masyarakat itu sendiri. 6.3. Mobilitas Sosial Didalam sosiologi, proses keberhasilan seseorang mencapai jenjang status sosial yang lebih tinggi atau proses kegagalan seseorang hingga jatuh di kelas sosial yang lebih rendah itulah yang disebut mobilitas sosial. Dengan demikian, jika kita berbicara mengenai mobilitas sosial hendaknya tidak terlalu diartikan sebagai bentuk perpindahan dari tingkat yang lebih rendah ke suatu tempat yang lebih tinggi karena mobilitas sosial sesungguhnya dapat berlangsung dalam dua arah. Sebagaian orang berhasil mencapai status yang lebih tinggi, beberapa orang mengalami kegagalan, dan selebihnya tetap tinggal pada ststus yang dimiliki orang tua mereka. Menurut horton dan hunt (1987), lembaga sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainya. Mobilitas sosial bisa berupa peningkatkan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk juga segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok. Tingkat mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berbeda-beda. Masyarakat yang sistem kelas sosialnya terbuka maka mobilitas sosial masyarakatnya akan cenderung tinggi. Tetapi sebaliknya pada sistem kelas sosial tertutup seperti masyarakat feodal atau masyarakat bersistem kasta maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada. Jenis mobilitas sosial Dalam mobilitas sosial secara prinsip dikenal dua macam, yaitu mobilitas sosial vertikal dan mobilitas sosial horizontal. 1. Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosial kekedudukan sosial lainya yang tidak sederajat (sukato,1982:244). Sesuai dengan arahnya, karena itu dikenal dua jenis mobilitas sosial vertikal , yakni: a. Gerak sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi. b. Gerak sosial yang menurun (social sinking) yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lain kebih rendah posisinya. Menurut Soedjatmoko (1980), mudah tidaknya seseorang melakukan mobilitas vertikal salah satunya ditentukan oleh kekakuan dan keluwesan struktur sosial dimana orang itu hidup. Seseorang yang memiliki bekal pendidikan yang tinggi bergelar doktor atau MBA, misalnya hidup di lingkungan masyrakat yang menghargai profesionalisme, besar kemungkinan akan lebih mudah menembus batasan-batasan lapisan sosial dan naik pada kedudukan lebih tinggi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Berbeda dengan mobilitas sosial vertikal yang berarti perpindahan dalam jenjang status yang berbeda, 2. Mobilitas sosial horizontal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Dalam mobilitas sosial horizontal tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun objek sosial lainnya. Mobilitas sosial memungkinkan orang untuk menduduki jabatan yang sesuai dengan keinginannya, tetapi terdapat juga beberapa kerugian disamping manfaatnya. Beberapa kerugian akibat adanya mobilitas sosial antara lain adalah memungkinkan terjadinya ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan di benak seseorang karena impian yang didambakan tidak semuanya dapat dicapai dengan mudah. Secara rinci horton dan hunt (1987), mencatat beberapa konsekuensi negatif dari mobilitas sosial vertikal seperti kecemasan akan terjadinya penurunan status bila terjadi mobilitas menurun, ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang meningkat, keretakan hubungan antara anggota kelompok primer yang semula karena seseorang bepindah ke status yang lebih tinggi atau status yang lebih rendah. Mobilitas sosial dapat merenggangkan ikatan sosial yang sudah lama terjalin, sehingga memungkinkan pula terjadinya keterasingan di antara warga masyarakat. Perubahan mobilitas yang terjadi dalam masyarakat dapat diterima masyarakat bila telah melakukan penyesuaian atau adaptasi.(Suyanto 2010: 207-213) 7. Antropologi Sosial Budaya Dalam Ilmu Komunikasi Antropologi dikatakan sebagai salah satu akar atau landasan lahirnya ilmu komunikasi. Seiring dengan perkembangan antropolgi tersebutlah akhirnya para ahli budaya melihat jika dalam budaya juga sangat tergantung pada komunikasi. Hal inilah yang kemudian dikaji mengenai proses dari komunikasi tersebut sehingga lahirlah ilmu komunikasi dari antroplogi. Namun untuk lebih jelasnya mengenai keterkaitan tersebut sebaiknya kita terlebih dahulu melihat menganai antopologi dan komunikasi itu sendiri. Kebudayaan adalah komunikasi simbolis, simbolisme itu adalah keterampilan kelompok, pengetahuan, sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbol-simbol itu dipelajari dan disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi. Menurut Levo-Henriksson (1994), kebudayaan itu meliputi semua aspek kehidupan kita setiap hari, terutama pandangan hidup – apapun bentuknya – baik itu mitos maupun sistem nilai dalam masyarakat. Ross (1986,hlm 155) melihat kebudayaan sebagai sistem gaya hidup dan ia merupakan faktor utama (common domitor) bagi pembentukan gaya hidup. Peradaban Romawi dan Yunani menjadi dasar bagi antropologi terutama yang berkaitan dengan maslah estetika, etika, metafisika, logam dan sejarah. Mempelajari antropologi dapat dilihat dari segi sejarah harus didasarkan pada orientasi humanistic, sejarah dan ilmu alam, karena perbedaan kondisi iklim dan keadaan permukaan tanah akan membawa peradaban keaadaan fisik, karakteristik dan konstitusi suatu masyarakat yang berbeda (Hipocrates 1962: 135). Memformulasikan tradisi filosofis dan tradisi keilmuan akan memberikan proposisi-proposisi sebagai berikut: 1. Segala sesuatu itu mempunyai sebuah bentuk yang menentukan maksud dari bentuk tersebut; 2. Semua hal yang ada dalam suatu Negara akan mengalami perubahan secara terus menerus; perubahan tersebut akan berkisar antara integrasi dan disintegrasi; 3. Setiap bentuk merupakan sebuah struktur yang setiap bagiannya tersusun secara berbeda-beda tergantung dari kepentingannya; 4. Desain setiap bagian memberikan sumbangan pada keseluruhan sistem sosial melalui aktualisasi; 5. Dalam setiap sistem terjadi penyaringan untuk membuat keseimbangan dalam setiap bagian sistem; 6. Perubahan yang terjadi pada salah satu bagian system akan menganggu aktivitas dan akan mengakibatkan ketidak harmonisan dalam sistem tersebut; 7. Perubahan secara besar-besaran merupakan hasil modifikasi internal dari suatu bagian yang sedang diperluas dan kemudian dikontrol dengan membangun kembali harmosisasi dalam sistem. Budaya sebagai konsep sentral. Linton (1945:32) memberikan definisi budaya secara spesifik, yaitu, budaya merupakan konfigurasi dari prilaku manusia dari elemen-elemen yang ditransformasikan oleh anggota masyarakat. Budaya secara umum telah dianggap sebagai milik manusia, dan digunakan sebagai alat komunikasi sosial di mana didalamnya terdapat proses peniruan. Selanjutnya konsep budaya telah menuntun para pakar etnologi Amerika dan Jerman kedalam suatu bentuk teoritik. Setelah Radcliffe-Brown (1965:5) para ilmuan antropologi sosial Prancis dan Inggris cenderung untuk membedakan konsep budaya dan sosial dan cenderung membatasi kedua konsep tersebut pada cara belajar berfikir, merasa, dan bertindak, yang merupakan dari proses sosial. C. Kluchohn menghimpun dan menerbitkan kembali 164 definisi kebudayaan yang dikelompokkan menjadi enam: deskriptif, historical, normatif, psikologis, struktural dan genetic. Klukhohn melalui Universal Categories od Culture (1953) merumuskan 7 unsur kebudayaan yang unierasl (Koentjaraningrat, 1979: 218) yaitu: a. Sistem teknologi, yaitu peralatan dan perlengkapan hidup menusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transport dan sebagainya. b. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekomoni (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lainnya). c. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hokum dan sistem perkawinan). d. Bahasa (lisan dan tulisan). e. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya). f. Sistem pengetahuan. g. Religi (sistem kepercayaan) (Burhan Bungin, 2006: 53). Setiap praktik komunikasi pada dasarnya adalah suatu representasi budaya, atau tepatnya suatu peta atas suatu relitas (budaya) yang sangat rumit. Komunikasi dan budaya adalah dua entitas tak terpisahkan, sebagaimana dikatakan Edward T. Hall, “budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Begitu kita mulai berbicara tentang komunikasi, tak terhindarkan, kita pun berbicara tentang budaya (Deddy Mulyana, 2004 :14). Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi. Karena budaya muncul melalui komunikasi. Akan tetapi pada gilirannya budaya yang tercipta pun mempengaruhi cara berkomunikasi anggota budaya yang bersangkutan. Hubungan antara budaya dan komunikasi adalah timbale balik. Budaya takkan eksis tanpa komunikasi dn komunikasi pun takkan eksis tanpa budaya. Entitas yang satu takkan berubah tanpa perubahan entitas lainnya. Menurut Alfred G. Smith, budaya adalah kode yang kita pelajari bersama dan untuk itu dibutuhkan komunikasi. Komunikasi membutuhkan perkodean dan simbol-simbol yang harus dipelajari. Godwin C. Chu mengatakan bhawa setiap pola budaya dan tindakan melibatkan komunikasi. Untuk dipahami, keduanya harus dipelajari bersama-sama. Budaya takkan dapat dipahami tanpa mempelajari komunikasi, dan komunikasi hanya dapat dipahami dengan memahami budaya yang mendukungnya (Deddy Mulyana, 2004: 14). Beberapa bidang konsep antropologi budaya yang dikaji yang sangat relavan dengan komunikasi yaitu; a. Objek simbol, umpamanya bendara melambangkan bangsa dan uang menggambarkan pekerjaan dan barang-barang dagangan (komoditi); b. Karakteristik objek dalam kultur manusia. contoh warna unggu dipahami untuk “kerajaan”, hitam untuk “duka cita” warna kuning untuk “kekecutan hati”, putih untuk untuk “kesucian”, merah untuk “keberanian” dan sebagainya; c. Ketiga adalah gesture dimana tindakan yang memiliki makna simbolis, senyuman dan kedipan, lambaian tangan, kerutan kening, masing-masing memiliki makna tersendiri dan semuanya memiliki makna dalam konteks cultural; d. Simbol adalah jarak yang luas dari pembicaraan dan kata-kata yang tertulis dalam meyusun bahsa. Bahasa adalah kumpulan simbol paling penting dalam kultur. Gatewood menjawab bahwa kebudayaan yang meliputi seluruh kemanusian itu sangat banyak, dan hal tersebut meliputi seluruh periode waktu dan tempat. Artinya kalau komunikasi itu merupakan bentuk, metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang membudaya, maka komunikasi adalah sarana bagi transmisi kebudayan, oleh karena itu kebudayaan itu sendiri merupakan komunikasi. Berdasarkan pendapat Gatewood itu kita akan berhadapan dengan pernyataan klasik tentang hubungan antara komunikasi dengan kebudayaa, apakah komunikasi dalam kebudayaan atau kebudayaan ada dalam komunikasi? ada satu jawaban netral yang disampaikan oleh Smith (1976) bahwa; “komunikasi dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan”. Dalam tema atau bagian uraian tentang kebudayaan dan komunikasi, sekurangnya-kurangnya ada dua jawaban: pertama, dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi, dan kedua, hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan dan kebuadayaan hanya akan eksis jika ada komunikasi (Alo Leliweri, 2004, 21). Budaya adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari komunikasi. Masyarakat terbentuk dari nilai norma yang mengatur mereka. Manusia merupakan homostatis di mana komunikasi membentuk kebudayaan dan juga bagian dari kebuadayaan itu sendiri. Dalam kehidupan budaya masyarakat dan intekasi menyebabkan maka terjadinya proses komunikasi yang menjadi alat bantu atau guna membantu mereka dalam berinteraksi dengan baik. Bahasa yang merupakan alat komunikasi juga sangat dipengaruhi oleh proses budaya. Dengan adanya kesamaan mengenai memaknai sesuatu tersebutlah sehingga membentuk suatu kebudayaan yang lebih baik dalam interkasi. Pengaruh komunikasi yang disebabkan oleh budaya ini pulalah yang menjadikan perbedaan pemaknaan dari setiap budaya masyarakat dalam berkomunikasi. Jadi, antropologi merupakan ilmu yang lebih dahulu ada dalam memahami perkembangan interaksi manusia, kemudian antropologi ini terus berkembang sehingga mulai melihat dan mengkaji pada prose komunikasi yang tercipta. Inilah yang kemudian menjadikan antropologi menjadi salah satu landasan sehingga lahirnya ilmu komunikasi. Komunikasi, sosial, budaya, dan perkembangan peradaban sekarang ini adalah tidak hanya sekedar unsur-unsur dan kata-kata saja tetapi merupakan konsep yang yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sehingga studi komunikasi sangat dipengaruhi oleh kajian antropologi begitu juga perkembangan antropologi yang didasarkan pada kekuatan manusia dalam menciptakan peradabannya sangat terkait oleh komunikasi. 8. Alasan Mempelajari Komunikasi Lintas Budaya Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalahpahaman. Akibat dari kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak kita temui dalam berbagai kejadian yang mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud konflik-konflik yang berujung pada kerusuhan atau pertentangan antar etnis. Sebagai salah satu jalan keluar untuk meminimalisir kesalahpahaman-kesalahpahaman akibat perbedaan budaya adalah dengan mengerti atau paling tidak mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi lintas budaya dan mempraktekkannya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota),latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Untuk memerinci alasan dan tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya Litvin (1977) menyebutkan beberapa alasan diantaranya sebagai berikut: 1. Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan. 2. Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda. 3. Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya. 4. Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri. 5. Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku. 6. Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain. 7. Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia. 8. Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya. 9. Pengalaman-pengalaman antar budaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian. 10. Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural. 11. Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan. 12. Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan. Sedangkan mengenai tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, Litvin (1977) menguraikan bahwa tujuan itu bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk: 1. Menyadari bias budaya sendiri; 2. Lebih peka secara budaya; 3. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut; 4. Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri; 5. Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang; 6. Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri; 7. Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya; 8. Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri:asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya; 9. Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antar budaya; 10. Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami. PENGERTIAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA Komunikasi lintas budaya merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antar pribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan. Pada awalnya, studi lintas budaya berasal dari perspektif antropologi sosial dan budaya sehingga kajiannya lebih bersifat depth description, yakni penggambaran yang mendalam tentang perilaku komunikasi berdasarkan budaya tertentu. Banyak pembahasan komunikasi lintas budaya yang berkisar pada perbandingan perilaku komunikasi antarbudaya dengan menunjukkan perbedaan dan persamaan sebagai berikut: 1. Persepsi, yaitu sifat dasar persepsi dan pengalaman persepsi, peranan lingkungan sosial dan fisik terhadap pembentukan persepsi; 2. Kognisi, yang terdiri dari unsur-unsur khusus kebudayaan, proses berpikir, bahasa dan cara berpikir; 3. Sosialisasi, berhubungan dengan masalah sosialisasi universal dan relativitas, tujuan-tujuan institusionalisasi; dan 4. Kepribadian, misalnya tipe-tipe budaya pribadi yang mempengaruhi etos, dan tipologi karakter atau watak bangsa. PERBEDAAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DENGAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA, KOMUNIKASI TRANSRASIAL DAN KOMUNIKASI INTERNASIONAL. Jika komunikasi lintas budaya lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan, maka studi komunikasi antarbudaya lebih mendekati objek melalui pendekatan kritik budaya. Aspek utama dari komunikasi antar budaya adalah komunikasi antar pribadi diantara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda. Dari gambar satu di atas terlihat bahwa komunikasi antar budaya merupakan komunikasi antar pribadi dari kebudayaan yang berbeda. Tidak masalah apakah kejadian itu terjadi dalam satu bangsa atau antar bangsa yang berbeda, yang jelas adalah budayanya yang berbeda. Selanjutnya untuk menghindari ketumpangtindihan yang sering terjadi maka selanjutnya kita akan membicarakan kajian komunikasi internasional. Komunikasi internasional merupakan komunikasi yang bersifat interaktif yang menggunakan media. Objek formal komunikasi internasional senantiasa berhubungan dengan media massa yang dianggap sebagai agen penyebaran berita-berita internasional dari media “sumber” di satu negara kepada “penerima” di negara lain. Komunikasi internasional pada umumnya melibatkan dua atau lebih negara di mana produk komunikasi massa disebarkan melintasi batas negara melalui struktur jaringan komunikasi tertentu. Secara lebih spesifik, studi-studi komunikasi internasional dapat dikategorikan atas pendekatan maupun metodologi sebagai berikut: 1. Pendekatan peta bumi (geographical approach) yang membahas arus informasi maupun, liputan internasional pada bangsa atau negara tertentu, wilayah tertentu, ataupun lingkup dunia, disamping antar wilayah. 2. Pendekatan media (media approach), adalah pengkajian berita internasional melalui satu medium atau multi media. 3. Pendekatan peristiwa (event approach) yang mengkaji satu peristiwa lewat medium. 4. Pendekatan ideologis (ideological approach), yang membandingkan sistem pers antar bangsa atau melihat penyebaran arus berita internasional dari sudut ideologis semata-mata. Selanjutnya kita akan membicarakan tentang komunikasi transrasial. Transrasial berarti melintasi batas rasial. Dalam antropologi, konsep transrasial ini sama dengan konsep antar etnik. Smith (1973) mengatakan bahwa kelompok etnik adalah sekelompok orang yang dipersatukan oleh kesamaan warisan sejarah, kebudayaan, aspirasi, cita-cita dan harapan, tujuan, bahkan kecemasan dan ketakutan yang sama. Pemahaman terhadap konsep transrasial ini dapat diikuti pada gambar berikut: Dari gambar di atas terlihat bahwa komunikasi transrasial dilakukan antara dua orang yang berbeda etnik/ras. Dimana masing-masing inisiator mengirimkan pesan melintasi suatu “ambang” batas simbol-simbol yang dapat dipahami bersama. Komunikasi transrasial sebenarnya memiliki kemiripan dengan komunikasi lintas budaya, hanya saja dalam komunikasi transrasial lebih diarahkan pada proses komunikasi internasional yang meliputi komunikasi diantara mereka yang berbeda etnik dan ras. Komunikasi transrasial bisa berbentuk diadic dan bisa juga berbentuk komunikasi massa. Ada empat kategorisasi komunikasi transrasial “diadic” yang didasarkan pada: 1) Kesamaan kodifikasi, yang meliputi proses pembakuan kode-kode komunikasi/simbol dan “sign” yang tumpang tindih; 2) Kedekatan pengirim dan penerima; 3) masalah perspektif; dan 4) Keterampilan umum berkomunikasi. MEMAHAMI DAN MENDEFINISIKAN KOMUNIKASI DAN BUDAYA Komunikasi lintas budaya terjadi bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya yang lain. Oleh karena itu, sebelum membicarakan Komunikasi Lintas Budaya lebih lanjut kita akan membahas konsep komunikasi dan budaya dan hubungan diantara keduanya terlebih dahulu. Pembicaraan tentang komunikasi akan diawali dengan asumsi bahwa komunikasi berhubungan dengan kebutuhan manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Kebutuhan berhubungan sosial ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Dan proses berkomunikasi itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin tidak dilakukan oleh seseorang karena setiap perilaku seseorang memiliki potensi komunikasi. Proses komunikasi melibatkan unsur-unsur sumber (komunikator), Pesan, media, penerima dan efek. Disamping itu proses komunikasi juga merupakan sebuah proses yang sifatnya dinamik, terus berlangsung dan selalu berubah, dan interaktif, yaitu terjadi antara sumber dan penerima.Proses komunikasi juga terjadi dalam konteks fisik dan konteks sosial, karena komunikasi bersifat interaktif sehingga tidak mungkin proses komunikasi terjadi dalam kondisi terisolasi. Konteks fisik dan konteks sosial inilah yang kemudian merefleksikan bagaimana seseorang hidup dan berinteraksi dengan orang lainnya sehingga terciptalah pola-pola interaksi dalam masyarakat yang kemudian berkembang menjadi suatu budaya. Adapun budaya itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-pola budaya yang ada di masyarakat. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.(Mulyana, 1996:18) Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan satu sama lain, karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siap, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya merupakan landasan komunikasi sehingga bila budaya beraneka ragam maka beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi yang berkembang. MEMAHAMI PERBEDAAN-PERBEDAAN BUDAYA Budaya adalah gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh sebagian orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang yang lainnya – budaya dimiliki oleh seluruh manusia dan dengan demikian seharusnya budaya menjadi salah satu faktor pemersatu. Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Individu-individu sangat cenderung menerima dan mempercayai apa yang dikatakan budaya mereka. Mereka dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat dimana mereka tinggal dan dibesarkan, terlepas dari bagaimana validitas objektif masukan dan penanaman budaya ini pada dirinya. Individu-individu itu cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan “kebenaran” kultural atau bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaannya. Inilah yang seringkali merupakan landasan bagi prasangka yang tumbuh diantara anggota-anggota kelompok lain, bagi penolakan untuk berubah ketika gagasan-gagasan yang sudah mapan menghadapi tantangan. Setiap budaya memberi identitas kepada sekolompok orang tertentu sehingga jika kita ingin lebih mudah memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam msaing-masing budaya tersebut paling tidak kita harus mampu untuk mengidentifikasi identitas dari masing-masing budaya tersebut yang antara lain terlihat pada: 1. Komunikasi dan Bahasa Sistem komunikasi, verbal maupun nonverbal, membedakan suatu kelompok dari kelompok lainnya. Terdapat banyak sekali bahasa verbal diseluruh dunia ini demikian pula bahasa nonverbal, meskipun bahasa tubuh (nonverbal) sering dianggap bersifat universal namun perwujudannya sering berbeda secara lokal. 2. Pakaian dan Penampilan Pakaian dan penampilan ini meliputi pakaian dan dandanan luar juga dekorasi tubuh yang cenderung berbeda secara kultural. 3. Makanan dan Kebiasaan Makan Cara memilih, menyiapkan, menyajikan dan memakan makanan sering berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Subkultur-subkultur juga dapat dianalisis dari perspektif ini, seperti ruang makan eksekutif, asrama tentara, ruang minum teh wanita, dan restoran vegetarian. 4. Waktu dan Kesadaran akan waktu Kesadaran akan waktu berbeda antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Sebagian orang tepat waktu dan sebagian lainnya merelatifkan waktu. 5. Penghargaan dan Pengakuan Suatu cara untuk mengamati suatu budaya adalah dengan memperhatikan cara dan metode memberikan pujian bagi perbuatan-perbuatan baik dan berani, lama pengabdian atau bentuk-bentuk lain penyelesaian tugas. 6. Hubungan-Hubungan Budaya juga mengatur hubungan-hubungan manusia dan hubungan-hubungan organisasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status, kekeluargaan, kekayaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan. 7. Nilai dan Norma Berdasarkan sistem nilai yang dianutnya, suatu budaya menentukan norma-norma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Aturan ini bisa berkenaan dengan berbagai hal, mulai dari etika kerja atau kesenangan hingga kepatuhan mutlak atau kebolehan bagi anak-anak; dari penyerahan istri secara kaku kepada suaminya hingga kebebasan wanita secara total. 8. Rasa Diri dan Ruang Kenyamanan yang dimiliki seseorang atas dirinya bisa diekspresikan secara berbeda oleh masing-masing budaya. Beberapa budaya sangat terstruktur dan formal, sementara budaya linnya lebih lentur dan informal. Beberapa budaya sangat tertutup dan menentukan tempat seseorang secara persis, sementara budaya-budaya lain lebih terbuka dan berubah. 9. Proses mental dan belajar Beberapa budaya menekankan aspek perkembangan otak ketimbang aspek lainnya sehingga orang dapat mengamati perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam cara orang-orang berpikir dan belajar. 10. Kepercayaan dan sikap Semua budaya tampaknya mempunyai perhatian terhadap hal-hal supernatural yang jelas dalam agama-agama dan praktek keagamaan atau kepercayaan mereka. MAKNA PERSPEKTIF TEORITIS Teori-teori Komunikasi Lintas Budaya merupakan teori-teori yang secara khusus menggeneralisasi konsep komunikasi diantara komunikator dengan komunikan yang berbeda kebudayaan, dan yang membahas pengaruh kebudayaan terhadap kegiatan komunikasi. DR. Alo Liliweri mengatakan bahwa paling tidak ada tiga sumber yang bisa digunakan untuk menggeneralisasi teori komunikasi lintas budaya, yakni: 1. Teori-teori komunikasi antar budaya yang dibangun akibat perluasan teori komunikasi yang secara khusus dirancang untuk menjelaskan komunikasi intra/antar budaya. 2. Teori-teori baru yang dibentuk dari hasil-hasil penelitian khusus dalam bidang komunikasi antar budaya. 3. Teori-teori komunikasi antar budaya yang diperoleh dari hasil generalisasi teori ilmu lain, termasuk proses sosial yang bersifat isomorfis. MAKNA PERSPEKTIF SUBJEKTIF/EMIK Pada prinsipnya dalam penelitian yang menggunakan perspektif ini maka peneliti “menjadikan dirinya” sebagai bagian dari kebudayaan yang dia teliti, atau dengan kata lain, peneliti bertindak sebagai partisipan penuh karena dia masuk dalam suatu struktur budaya tertentu.(Liliweri, 2001:34) Dalam penelitian berperspektif subjektif ini biasanya peneliti akan menolak masukan variabel kebudayaan lain ke dalam kebudayaan yang sedang diteliti. Oleh karena itu, para peneliti yang menggunakan perspektif ini kerap kali mendapat kritik karena gambaran yang diberikan tentang kebudayaan yang ditelitinya terlalu sedikit. Pendekatan subjektif pun sering mengkritik peneliti yang menarik kesimpulan tentang suatu budaya tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang berlaku pada kebudayaan lain. MAKNA PERSPEKTIF OBJEKTIF/ETIK Dalam penelitian yang menggunakan perspektif objektif ini seorang peneliti akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap objek tertentu. Penggunaan perbedaan kebudayaan dilakukan untuk menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan untuk menunjukkan bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan untuk meneliti perbedaan budaya. Berikut adalah tabel yang dapat memudahkan kita untuk memahami perbedaan perspektif subjektif/emik dengan perspektif objektif/etik dalam komunikasi antar budaya. Emik dan Etik 1. Peneliti mempelajari perilaku manusia dari dalam kebudayaan objek penelitian. Peneliti mempelajari perilaku manusia dari luar kebudayaan objek penelitian 2. Peneliti hanya meneliti satu kebudayaan; Peneliti menguji banyak kebudayaan dan membandingkan kebudayaan tersebut; 3. Struktur kebudayaan ditemukan sendiri oleh peneliti; Struktur diciptakan oleh peneliti 4. Umumnya kriteria-kriteria yang diterapkan ke dalam karakteristik kebudayaan sangat realtif; Kriteria-kriteria kebudayaan bersifat mutlak dan berlaku universal TEORI-TEORI BERDASARKAN PERSPEKTIF ILMU KOMUNIKASI Gundykunst (1983) mengemukakan bahwa terdapat lima pendekatan dalam ilmu komunikasi yang diasumsikan dapat menerangkan komunikasi lintas (antar) budaya. Kelima pendekatan tersebut adalah: 1. Teori Komunikasi berdasarkan analisis kebudayaan implisit. Kebudayaan implisit adalam kebudayaan immmaterial, kebudayaan yang bentuknya tidak nampak sebagai benda namun dia “tercantum” atau “tersirat” dalam nilai dan norma budaya suatu masyarakat, misalnya bahasa. Pendekatan kebudayaan implisit mengandung beberapa asumsi yaitu: 1. Kebudayaan mempengaruhi skema kognitif; 2. Kebudayaan mempengaruhi organisasi tujuan dan strategi tindakan; 3. Kebudayaan mempengaruhi pengorganisasian skema interaksi; dan 4. Kebudayaan mempengaruhi proses komunikasi. 2. Teori Analisis Kaidah Peran. Dari berbagai penelitian yang dilakukan maka diketahui bahwa telah terjadi beragam variasi penerapan prinsip-prinsip teori “kaidah peran”. Beberapa isu yang menonjol misalnya: 1. Apa saja sifat dasar yang dimiliki suatu masyarakat? 2. Apa yang dimaksudkan dengan kaidah peran? 3. Apa hubungan antara aktor dan kaidah persan? Apakah setiap kaidah peran mampu menerangkan atau mengakibatkan perilaku tertentu? 3. Teori analisis Interaksi antar budaya Ada beberapa pendektan ilmu komunikasi yang sering digunakan untuk menerangkan interaksi antar budaya, yakni: 1. Pendekatan jaringan metateoritikal, yaitu studi tentang bagaimana derajat hubungan antar pribadi; 2. Teori Pertukaran. Inti teori ini mengatakan bahwa hubungan antarpribadi bisa diteruskan dan dihentikan. Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan antarpribadi maka makin besar peluang hubungan tersebut diteruskan. Sebaliknya makin kecil keuntungan yang diperoleh, maka makin kecil peluang hubungan tersebut diteruskan. Wood (1982) dalam Liliwer (1994) mengidentifikasi 12 karakteristik pendekatan pertukaran tersebut: 1) Prinsip individual, 2) Komunikasi Coba-coba, 3) Komunikasi eksplorasi, 4) Komunikasi euphoria, 5) Komunikasi yang memperbaiki, 6) komunikasi pertalian, 7) Komunikasi sebagai pengemudi, 8) komunikasi yang membedakan, 9) Komunikasi yang disintegratif, 10) Komunikasi yang macet, 11) Pengakhiran komunikasi, 12) Individualis. 4. Teori pengurangan tingkat kepastian Berger (1982) menyatakan bahwa salah satu dari fungsi utama komunikasi adalah fungsi informasi yaitu untuk mengurangi tingkat ketidakpastian komunikator dan komunikan. Setiap individu memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi tertentu tentang pihak lain. Berger merekomendasikan strategi pencarian informasi sebagai berikut: 1. Mengamati pihak lain secara pasif, 2. Menyelidiki atau menelusuri pihak lain, 3. menanyakan informasi melalui pihak ketiga, 4. penanganan lingkungan kehidupan pihak lain, 5. Interogasi, 6. Membuka diri. 9. Antropologi Sosial Budaya Dalam Perspektif Agama Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi Sosial Budaya mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai common sense dan religious mencatau mystical event. Dalam satu sisi common sense mencerminkan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementara itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi. Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini, usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama, sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia. Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia, karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikan-Islam that is practiced-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagaman manusia. Di Indonesia usaha para antroplog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang popular sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang menungkapkan tentang adanya trikotomi abangan, santri dan priyayi di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mmpengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama khususnya Islam dan budaya di jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antar keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz. Pandangan trokotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religiokulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan polotik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideolog keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas polotik, yang jelas-jelas menunjukan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis perdagangan dan priyayi yang dominant didalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik yang isu-isu kerakyatan priyayi dengan partai nasional, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan. Teori politik aliran ini, menuarut bahtiar effendy memberikan arti penting terhadap wancana tentang hubungan antara agama khususnya agama Islam dan Negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokan religio-sosial di Indonesia. Karya Geertz ini ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indoesia telah berhasil memberikan wancana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara langsung secara detail hubungan langsung antara agama dan masyarakat dalam tataran grassroot memberikan langsung informasi yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Melihat agama dimasyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikan, diinterprestasi , dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikan. Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wancana posmodemisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodermis adalah “Fenomena” atau sebuah kerangka “discontruction theory”, mereka bersepakat tentang bangkitnnya dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran. Budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang di sinyalir oleh fukuyama dengan klaimnya The End of History and the last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang baik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat telekomunikasi dan computer dengan internetrnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung urusan dengan budaya seperrti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antar budaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya : mercusuar “ untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas barat, menunjukan bangkitnya “ pengetahuan lokal “ di era posmoderisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia atau munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting. Bassam Tibi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkinkan manusia untuk melakukan dialog antar kebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikkan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya demokrasi asia ( Asian Democracy ) atau demokrasi Islam ( Islamic Democracy ) . tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel hunting Ton. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antar budaya untuk menularkan yang ia sebut sebagai “ international Morality “, suatu sistem nilai yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada. Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian islam maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social kontexs yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan kedalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaan dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hali ini jelas menunjukan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak menjadi sempurna. Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak ke dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengolaborasikan pengertian kebudayaan sebagai pola makna ( Petren of Meaning ) yang diwariskan secara histories tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, perilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hokum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretative untuk mmencari makna ( meaning ).dipandang dari makna kebudayaan yang demikian maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai etos dan juga worldviewnya. Clifford Geertz mengartikan etos sebagai tone karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estetika mereka. Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya disamping itu agama meberikan gambaran realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai etos telah memberikan karakter yang khusus bagu manusia, yang kemudian bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan ( worldview )yang hendak dicapai oleh manusia. Kedua kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian islam untuk lebih melihat keagamaan pengaruh budaya dalam praktik islam. Pemahaman realitasnya nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian islam yang lebih empiris kajian agama dan rose kultur akan memberikan gambaran yanag variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang di sebut Tibbi sebagai “ Internatioonal Morality”. Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama Bagi seorang antropolog, pentingya agama terletak pada kemampuanya untuk berlaku bagi seorang individu atau sebuah kelompok sebagai sumber konsep umum namun jelas, tentang dunia, diri, dan hubungan-hubungan diantara keduanya, disatu pihak yaitu dari segi agama itu, dan dilain pihak sumber disposisi_pihak, yaitu model dari segi agama itu, dan di lain pihak sumber disposisi-disposisi “mental” yang berakar, yang tak kurang jelasnya, yaitu model untuk segi agama itu. Memahami bagaiman pandangan-pandangan manusia, betapapun tesiratnya tentang yang “sungguh nyata” dan disposisi-disposisi yang ditimbulkan dalam diri mereka mewarnai pengertian mereka akan masuk akal yang praktis, yang manusiawi dan yang bersifat moral. Sejauh mana pandangan-pandangan itu mewarnai hal-hal itu ( karena dalam banyak masyarakat efek-efek agama tempaknya terbatas, dalam masyarakat-masyarakat lain menguasai segalanya), seberapa dalamya pandangan-pandangan itu mewarnai hal-hal itu (karena beberapa orang dan beberapa kelompok orang tampaknya memakai agama mereka seenaknya saja sejauh dunia seular berjalan, sementara yang lain-lainnya tampak menerpakan iman mereka pada setiap kesempatan, tak peduli betapapun sepelehnya); dan beberapa efektifnya pandangan-pandangan itu mewarnai hal-hal itu ( karena lebarnya jurang antara apa yang dikehendaki agama dan apa yang dinyatanya dilakukan seorang merupakan sesuatu yang bervariasi dari kebudayaan-kebudayaan) semua ini merupakan soal-sioal yang sangat penting dalam sosialogi komperatif dan psikologi agama. Bahkan taraf perkembaangan sistem-sistem religious itu semakin amat bervariasi, dan tidak semata-mata berdasarkan pada suatu basis evolusioner sederhana. Dalam satu masyarakat, taraf penjelasan rumusan-rumusan simbolis tentang kualitas akhir bisa mencapai taraf-taraf kompeksitas dan uraian sistematis yang luar biasa; dalam masyarakat-masyarakat lainnya yang secara tak kurang berkembangnya, perumusan-perumusan itu tetap tinggal primitive dalam arti sesungguhnya, hamper tidak lebih dari pada tumpukan-tumpukan kepercayaan-kepercayaan awal yang fragmentis dan gambaran-gambaran yang terisolasi, tentang refleks-refleks yang dikeramatkan dan piktograf-piktograf spiritual. Studi antropologis mengenai agama dengan demikian merupakan suatu operasi dua tahap. Pertama, suatu analisis atas sistem makna-makna yang terkandung di dalam symbol- simbol yang meliputi agama tertentu, dan kedua, mengaitkan sistem-sistem ini pada struktur sosial dan proses-proses psikologis. Daftar Pustaka: Alo Leliweri, 2003, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, LKIS, Yogyakarta. Anonim, 2004, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Deddy Mulyana, 2004, Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya, Remaja Rosda Karya, Bandung. Murtada Mutahari, 1998, Perspektif Al Qur’an Tentang Manusia dan Agama, Bandung, Mizan. Nurcholis Madjid, 2000, Islam Agama Peradaban, Jakarta, Paramadina. Koentjaraningrat, 1996, Pengantara Antropologi I, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta.

No comments: