Friday, May 25, 2012

ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA SEBAGAI AKAR ILMU KOMUNIKASI

ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA 1. Pendahuluan Antropologi Sosial Budaya Antropologi Sosial-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya berhubungan dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah laku kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari disini bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli Antropologi disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia, baik itu kelompok kecil maupun kelompok yang sangat besar inilah yang menjadi objek spesial dari penelitian-penelitian Antropologi Sosial Budaya. Dalam perkembangannya Antropologi Sosial-Budaya ini memecah lagi kedalam bentuk-bentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang kajian yang dipelajari atau diteliti. Antroplogi Hukum yang mempelajari bentuk-bentuk hukum pada kelompok-kelompok masyarakat atau Antropologi Ekonomi yang mempelajari gejala-gejala serta bentuk-bentuk perekonomian pada kelompok-kelompok masyarakat adalah dua contoh dari sekian banyak bentuk spesialasi dalam Antropologi Sosial-Budaya. 2. Sejarah Perkembangan Ilmu Antropologi Sosial atau Budaya (Antropologi Sinkronik) Fase pertama sebelum 1800 an kedatangan orang eropa barat di benua afrika, asia dan Amerika skitar awal abat 15 sampai akhir abat 16, susku suku pribumi berbagai daerah tadi mulai terpengaruh oleh negara eropa barat. Banyak tulisan,catatan,diskripsi dari para musafir,pelaut pendeta eropa barat. berangkat dari beragam tulisan tadi para kalangan terpelajar eropa barat memiliki pandanganya yang mengganggap bahwa selain masyarakat eropa barat di anggap bahwa manusia manusianya adalah keturunan iblis atau manusia jadi jadian. Keanehan keanehan ini kemudian menarik hati para kalangan terpelajar eropa barat untuk meneliti adat istiadat serta benda benda kebudayaanya untuk di publikasikan kepada masyarakat eropa barat. Hal ini menimbulkan pemikir pemikran para ilmuan orang eropa barat untuk meneliti lebih lanjut dengan mengintregasikan bahan bahan etnografi tersebut yang ada menjadi satu. Fase kedua sekitar pertengahan abat ke 19, perkembangan ilmu antropologi ini bersifat akademis yaitu mempelajari masyarakat primitive dengan tujuan untuk mendapatkan segala pengertian tentang tingkat tingkat kuno dalam sejarah dalam sejarah evolusi dan sejarah persebaran kebudayaan manusia di muka bumi. Fase ketiga awal abat ke 20,pada fese ini perkembangan ilmu antropologi bersifat praktis yaitu mempelajari suku-suku primitive dengan tujuan untuk mengetahuai masyarakat belum kompleks pada suatau daerah yang dipelajari tersebut. tujuan dari ilmu antropologi yang praktis tersebut di cari untuk tujuan atau kepentingan pemerintahan suatu negara yang mempelajari suku tersebut guna untuk mengetahui masyarakat modern yang secara kompleks, karena mereka mengganggap bahwa mempelajari masyarakat yang belum komplek dapat menambah pengertian mengenai masyarakat modern yang kompleks. Fase ke empat, sekitar tahun 1930 an, pada fase terakhir ini perkembangan ilmu antropologi memiliki tujuan ganda yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis. Tujuan akademis adalah untuk mencapai pengertian manusia pada umumnya dengan mempelajari bebagai bentuk fisiknya, masyarakatnya dan kebudayaanya. Sedangkan tujuan praktisnya adalah mengingat bahwa antroplogi mempelajari masyarakat suku bangsa tujuan praktis ini mempelajari masyarakat beragam suku bangsa guna untuk membangun masyarakat masyarakat suku bangsa tersebut agar lebih baik. 3. Persamaan dan perbedaan Antropologi sosial (budaya) dengan Sosiologi Sekilas antara ilmu antropologi sosial atau budaya (antropologi sinkronik) dengan sosiologi tidak ada perbedaan sama sekali. Antropologi sosial atau budaya mengkaji tentang masyarakat dan kebudayaan untuk mencari unsur unsur yang sama dan kebudayaan di dalam masyarakat tersebut yang bertujuan untuk mencapai pengertian asas asas kehidupan masyarakat dan kebudayaan pada umumnya dan inipun merupakan suatau kajian dari sosiologi. Dengan demikian kajian kedua ilmu tersebut sama yaiatu objeknya adalah masyarakat, akan tetapi ada perbedaan yang mendasar antara kedua ilmu tersebut : 1. Kedua ilmu itu masing masing mempunyai asal mula dan sejarah yang berbeda. 2. Perbedaan sejak awal tersebut menyebabkan pengkhususan pada pokok dan bahan penelitian dari kedua ilmu tersebut; 3. Perbedaan sejak awal tersebut juga telah menyebabkan berkembangnya metode metode dan masalah masalah yang khusus pada kedua ilmu tersebut. Sejarah perkembangan ilmu Antropologi Sosial Budaya telah kita jelaskan pada Bab di atas, sedangkan untuk sejarah perkembangan ilmu Sosiologi adalah, ilmu sosiologi pada mulanya berangkat dari ilmu filsafat. Dalam menganalisa masalah masalah mengenai sains para ahli filsafat juga memikirkan masalah masalah sosial sehingga munculah filsafat sosial. Pada fase fase perkembanganya sejak abad ke-19 seseuai dengan perubahan filsafat, konsep konsep serta teori teori dan cara berfikir orang eropa barat filsafat sosial ini juga mengalami perubahan. Ketika krisis melanda masyarakat eropa barat akibat adanya revolusi prancis dan revolusi industri dan lain sebagainya. Kegiatan menganalisa masyarakat semakin diperkuat. Para ahli filsafat seperti H. de saint-simon (1760-1825) dan A.comte (1789-1857) menyadari mengenai sifat positif dari semua cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu tentang relasi masyarakat maka dari itulah muncul suatu ilmu sendiri yaitu Sosiologi.ilmu ini menjadi lebih valid dan diakui oleh dunia baru pada tahun 1925. Dengan demikian antara antropologi budaya atau sosial dan sosiologi memiliki perbedaan yang mendasar. Antropologi budaya atau sosiologi berangkat dari himpunan himpunan suatu tulisan dan keterangan tentang berbagai masyarakat dan kebudayaan masyarakat Inlander bukan Eropa, yang menjadi suatu ilmu khusus karena adanya suatu kepentingan untuk mencapai pengertian mengenai tingkat tingkat perkembangan masyarakat dan kebudayaan bangsa Eropa barat. Sedangkan Sosiologi berawal dari suatu ilmu filsafat yang pada fase perkembanganya menjadi suatu ilmu khusus, karena ketika itu masyarakat dilanda krisis krisis sangat memerlukan suatu pengertian yang mendalam tentang asas asa manusia dan kebudayaan suatu masyarakat. 4. Arti Kebudayaan 4.1. Definisi Menurut Antropologi Menurut para ahli biologi manusia adalah salah satu di antara hampir sejuta jenis makhluk lain yang hidup di alam dunia ini, yang terdiri dari makhluk-makhluk yang sangat sederhana ragawinya, seperti misalnya protozoa, hingga jenis makhluk yang sangat kompleks, yaitu Primat. Namun, di antara semua makhluk itu manusia memiliki keunggulan, yaitu kebudayaan, yang memungkinkannya hidup di segala macam lingkungan alam, sehingga ia menjadi makhluk yang paling berkuasa dimanapun ia berada. Walaupun demikian, segala kemampuan manusia itu tidak merupakan bawaan dari alam (yang juga dinamakan “naluri”, karena sudah terprogram di dalam gennya, seperti halnya pada hewan), tetapi harus dikuasainya dengan belajar. Dalam antropologi, yang meneliti dan menganalisa berbagai cara hidup manusia dan berbagai sistem tindakan manusia, aspek belajar merupakan aspek pokok. Karena itu dalam memberi batasan kepada konsep “kebudayaan”, antropologi seringkali sangat berbeda dengan berbagai ilmu lain. Arti “kebudayaan” dalam bahasa sehari-hari pun umumnya terbatas pada segala sesuatu yang indah, misalnya candi, tarian, seni rupa, seni suara, kesasteraan, dan filsafat. Menurut antropologi, “Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Dengan demikian hampir semua tindakan manusia adalah “kebudayaan”, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakannya dengan belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang dilakukan akibat suatu proses fisiologi, maupun berbagai tindakan membabibuta), sangat terbatas. Bahkan berbagai tindakan yang merupakan nalurinya (misalnya makan, minum, dan berjalan) juga telah banyak dirombak oleh manusia sendiri sehingga menjadi tindakan berkebudayaan. Manusia makan pada waktu-waktu yang dianggap wajar dan pantas; ia makan dan minum dengan menggunakan alat-alat, cara-cara, serta sopan-santun atau protokol yang kadang-kadang sangat rumit, yang harusnya dipelajarinya dengan susah payah. Berjalanpun tidak dilakukannya lagi sesuai dengan wujud organismenya yang telah ditentukan oleh alam, karena gaya berjalan itu telah disesuaikan dengan berbagai gaya berjalan yang harus dipelajarinya terlebih dahulu yaitu misalnya gaya berjalan seorang prajurit atau peragawati, atau gaya berjalan yang lemah-lembut. Definisi yang menganggap bahwa kebudayaan dan tindakan kebudayaan merupakan segala tindakan yang harus dibiasakan dengan belajar diajukan oleh ahli-ahli antropologi C. Wissler, C. Luckhohn, A. Davis dan A. Hoebel. Definisi-definisi yang mereka ajukan hanya beberapa saja di antara sejumlah definisi lain yang ada, baik definisi-definisi yang diajukan oleh para pakar antropologi, maupun para ahli ilmu-ilmu sosiologi, filsafat, sejarah, dan kesusateraan. Sebanyak 176 definisi mengenai “kebudayaan” yang pernah muncul dalam berbagai tulisan telah berhasil dikumpulkan oleh A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn, yang kemudian mereka analisa dan cari latar belakang, prinsip, serta intinya, lalu diklasifikasikan ke dalam sembilan tipe definisi. Hasil penelitian ini mereka terbitkan bersama dalam buku berjudul Culture: A Critical Review Of Concepst And Definitions (1952). Istilah “Kebudayaan” dan “Culture”. Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari Buddhi yang berarti “budi” atau “kekel”. Kata asing culture yang berasal dari kata Latin colere (yaitu “mengolah”, “mengerjakan”, dan terutama berhubungan dengan pengolahan tanah atau bertani), memiliki makna yang sama dengan “kebudayaan”, yang kemudia berkembang menjadi “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”. Perbedaan Antara Kebudayaan Dan Peradaban. Selain istilah “kebudayaan”, kita jug mengenal istilah “peradaban”, yang dalam bahasa Inggris disebut civilization, dan dipakai untuk menyebut bagian-bagian serta unsur-unsur dari kebudayaan yang sifatnya halus, maju, dan indah, seperti misalnya kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun serta pergaulan, kepandaian menulis, organisasi bernegar, dan lain-lain. Istilah “peradaban” sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, serta masyarakat kota yang maju dan kompleks. 4.2. Empat Wujud Kebudayaan Pakar sosiologi Talcott Parsons maupun pakar antropologi A.L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan antara wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari gagasan-gagasan serta konsep-konsep, dan wujudnya sebagai rangkaian tindakan serta aktivitas manusia yang berpola. Dalam rangka itu J.J. Honingmann membuat perbedaan atas tiga gejala kebudayaan, yakni (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. Namun demikian, penulis menyarankan agar kebudayaan dibeda-bedakan sesuai dengan empat wujudnya, yang secara simbolis digambarkan sebagai empat lingkaran kosentris. Lingkaran yang paling luar, dan karena itu letaknya pada bagian paling luar, melambangkan kebudayaan sebagai: 1. Artifacts, atau benda-benda fisik; 2. Lingkaran berikutnya (dan tentunya lebih kecil) melambangkan kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan tindakanyang berpola; 3. Lingkaran yang berikutnya lagi (dan lebih kecil daripada kedua lingkaran yang berada di sebelah “luar”-nya, melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan; dan 4. Lingkaran hitam yang letaknya paling dalam dan bentuknya juga paling kecil, dan merupakan pusat atau inti dari seluruh lingkaran tersebut, melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan yang ideologis. Contoh dari wujud konkret dari kebudayaan, yang dalam bagan digambarkan sebagai Lingkaran 1, yaitu yang paling besar, adalah antara lain bangunan-bangunan megah seperti candi Borobudur, benda-benda bergerak seperti kapal tangki, komputer, piring, gelas, kancing baju, dan lain-lain. Semua benda hasil karya manusia tersebut bersifat konkret dan dapat diraba serta difoto. Sebutan khusus bagi kebudayaan dalam wujud konkret ini adalah “kebudayaan fisik”. Lingkaran 2 menggambarkan wujud tingkah laku manusianya, yaitu misalnya menari, berbicar, tingkah laku dalam melakukan suatu pekerjaan, dan lain-lain. Kebudayaan dalam wujud ini masih bersifat konkret, dapat difoto, dan dapat difilm. Semua gerak-gerik yang dilakukan dari saat ke saat dan dari hari ke hari, dari masa ke masa, merupakan pola-pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem. Karena itu pola-pola tingkah laku yang dialakukan berdasarkan sistem. Karena itu pola-pola tingkah laku manusia disebut “sistem sosial”. Lingkaran 3 menggambarkan wujud gagasan dari kebudayaan, dan tempatnya adalah dalam kepala tiap individu warga kebudayaan yang bersangkutan, yang dibawanya ke mana pun ia pergi. Kebudayaan dalam wujud ini bersifat abstrak, tak dapat difoto dan difilm, dan hanya dapat diketahui serta dipahami (oleh warga kebudayaan lain) setelah ia mempelajarinya dengan mendalam, baik melalui wawancara yang intensif atau dengan membaca. Kebudayaan dalam wujud gagasan juga berpola dan berdasarkan sistem-sistem tertentu yang disebut “sistem budaya”. Lingkaran 4, yang pada bagan diberi warna hitam, adalah gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu kebudayaan sejak usia dini, dan karena itu sangat sukar diubah. Istilah untuk menyebut unsur-unsur kebudayaan yang merupakan pusat dari semua unsur yang lain itu adalah “nilai-nilai budaya”, yang menentukan sifat dan corak dari pikiran, cara berpikir, serta tingkah laku manusia suatu kebudayaan. Gagasan-gagasan inilah yang akhirnya menghasilkan berbagai benda yang diciptakan manusia berdasarkan nilai-nilai, pikiran dan tingkahlakunya. 4.3. Adat-Istiadat Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, Dan Ideologi. Sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Sebabnya ialah karena nilai budaya teridiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi pada kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan. Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup warga sesuatu masyarakat, sebagai konsep sifatnya sangat umum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justeru karena itulah ia berada dalam daerah emosional dari alam jiwa seseorang. Lagipula, sejak kecil orang telah diresapi oleh berbagai nilai budaya yang hidup di dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep budaya itu telah berakar dalam alam jiwanya. Karena itu untuk mengganti suatu nilai budaya yang telah dimiliki dengan nilai budaya lain diperlukan waktu lama. Dalam setiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang saling berkaitan dan bahkan telah merupakan suatu sistem. Sebagai pedoman dan konsep-konsep ideal, sistem itu menjadi pendorong yang kuat untuk mengarahkan kehidupan warga masyarakat. Suatu sistem nilai budaya seringkali merupakan suatu pandangan hidup, walaupun kedua istilah itu sebaiknya tidak disamakan. “Pandangan hidup” biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, dan yang telah dipilih secara selektif oleh individu-individu dan golongan-golongan dalam masyarakat. Dengan demikian, apabila “sistem nilai merupakan pedoman hidup yang dianut oleh suatu masyarakat maka “pandangan hidup” merupakan suatu pedoman yang dianut oleh golongan-golongan atau bahkan individu-individu tertentu dalam suatu masyarakat. Karena itu suatu pandangan hidup tidak berlaku bagi seluruh masyarakat. Konsep “ideologi” juga merupakan suatu sistem pedoman hidup (atau ciri-ciri) yang ingin dicapai oleh para warga suatu masyarakat, namun yang sifatnya lebih khusus daripada sistem nilai budaya. “Ideologi” dapat menyangkut seluruh masyarakat (dalam kenyataannya tentu ada terkecualian), tetapi dapat juga hanya golongan-golongan tertentu saja dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya, istilah “ideologi” umumnya tidak digunakan dalam hubungan dengan individu. Karena itu yang ada adalah “ideologi negara”, “ideologi suatu masyarakat”, “ideologi golongan”, dan lain-lain, tetapi kita tidak dapat mengatakan “ideologi si Anu”. Untuk hal yang terakhir kita mengatakan “cita-cita si Anu”. Ideologi suatu negara biasanya disusun secara sadar oleh para tokoh pemikirnya, yang akan berupaya untuk menyebarluaskannya kepada para warganya. Adat-istiadat, Norma, Dan Hukum. Dalam bagian di atas telah kita pelajari bahwa nilai-nilai budaya sebagai pedoman yang memberi arah serta orientasi kepada hidup, sangat umum sifatnya. Sebaliknya, norma yang terdiri dari aturan-aturan untuk bertindak sifatnya khusus, dan perumusannya pada umumnya sangat rinci, jelas, tegas, dan tidak meragukan. Apabila sifatnya terlalu umum, ruang lingkupnya terlalu luas dan perumusannya terlalu kabur, maka suatu norma tidak dapat mengatur tindakan individu, dan malahan dapat membingungkan pelaksanaannya. Norma-norma yang khusus itu dapat digolongkan menurut pranata-pranata masyarakat yang ada. Norma-norma yang ada dalam suatu pranata maupun dalam sub-sub pranatanya, tentu saling berkaitan, sehingga merupakan suatu sistem yang integral. Kecuali itu, norma-norma dalam suatu pranata tentu berkaitan pula dengan norma-norma dalam pranata-pranata lain yang berdekatan, sehingga seluruhnya menjadi sistem-sistem yang lebih luas, yang merupakan unsur-unsur kebudayaan universal. Dalam suatu masyarakat yang sederhana, di mana jumlah pranata yang ada dalam kehidupan masih sangat kecil, dan dimana jumlah norma dalam suatu pranata juga kecil, pengetahuan mengenai semua norma yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan masih dapat dikuasai oleh satu orang ahli adat saja. Namun apabila suatu masyarakat telah berkembang makin kompleks, sehingga jumlah pranata yang ada juga kian banyak, maka seorang ahli adat tidak mungkin dapat menguasai semuanya. Dalam masyarakat kompleks, jumlah norma dalam suatu pranata bahkan sudah sangat banyak, sehingga untuk satu pranata diperlukan sejumlah ahli. Mislanya, norma-norma pranata ekonomi telah menjadi demikian banyaknya, sehingga perlua ada seorang ahli khusus yang paham mengenai norma-norma koperasi, dan seterusnya. Di antara berbagai norma yang ada di dalam suatu masyarakat, ada yang dirasakan lebih besar daripada lainnya. Pelanggaran terhadap suatu norma yang dianggap tidak begitu berat umumnya tidak akan membawa akibat yang panjang, dan mungkin hanya menjadi bahan ejekan atau pergunjingan para warga masyarakat. Sebaliknya, ada norma-norma yang berakibat panjang apabila dilanggar, sehingga pelanggarannya bisa jadi dituntut, diadili, dan dihukum. Ahli sosiologi W.G. Sumner menyebut norma-norma golongan pertama folkways, dan norma-norma golongan yang kedua disebutnya mores. Istilah folkways dapat kita terjemahkan dengan “adat-istiadat dalam arti khusus”. Norma-norma dari golongan adat-istiadat yang mempunyai akibat yang panjang juga merupakan “hukum”, walaupun mores seperti yang dikonsepsikan oleh Sumner hendaknya kita disamakan dengan “hukum”, karena norma-norma yang mengatur upacara suci tertentu juga tergolong mores (dalam banyak kebudayaan, norma-norma seperti itu dianggap berat, dan pelanggaran terhadapnya dapat menyebabkan ketegangan dalam masyarakat yang berakibat panjang, walaupun pelanggaran terhadap norma-norma seperti itu belum tentu mempunyai akibat hukum). Dengan demikian perlu kita ketahui dengan cermat, perbedaan antara norma-norma yang tergolong hukum dan norma-norma yang tergolong hukum dan norma-norma yang tergolong hukum adat. Perbedaan antara “adat” dan “hukum adat” (yaitu antara ciri-ciri dasar dari hukum dan hukum adat) sejak lama telah menjadi buah pikiran para ahli antropologi. Ada golongan ahli antropologi yang beranggapan bahwa dalam masyarakat yang tak bernegara (misalnya kelompok-kelompok pemburu dan peramu, serta para peladang yang hidup di daerah yang terpencil), tidak terdapat aktivitas hukum, karena definisi para ahli mengenai “hukum” mereka batasi pada aktivitas-aktivitas hukum seperti yang terdapat dalam masyarakat yang sifatnya memaksa, dan diperkuat oleh suatu sistem alat kekuasaan yang diorganisir oleh negara). Salah seorang penganut pendirian ini adalah A.R. Radcliffe-Brown, yang mengatakan bahwa masyarakat-masyarakat yang tidak memiliki hukum seperti itu mampu menjaga tata tertib karena mereka memiliki suatu kompleks norma-norma umum (yaitu adat) yang sifatnya mantap dan ditaati oleh semua warganya. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi secara otomatis akan menimbulkan reaksi dari masyarakat, sehingga pelanggarnya akan dikenai hukuman. Mengenai hal ini, lihat antara lain pendirian Radcliffe-Brown dalam tulisannya yang berjudul “Primitive Law”, dalam “Encyclopedia Of The Social Sciences”. Para ahli yang menganut pendirian yang kedua, yaitu antara lain B. Malinoswki, tidak hanya mengkhususkan definisi mereka tentang hukum dalam masyarakat bernegara yang dilengkapi dengan suatu sistem alat-alat kekuasaan saja. Menurut mereka, antara “hukum” dalam masyarakat bernegara dan “hukum” dalam masyarakat terbelakang ada dasar yang universal sifatnya. Dengan membandingkan beragam masyarakat dan kebudayaan di muka bumi, para ahli ini mengajukan konsepsi tentang dasar dari hukum pada umumnya, yaitu bahwa semua aktivitas kebudayaan berfungsi untuk memenuhi sejumlah hasrat naluri manusia (antara lain hasrat untuk saling memberi dan saling menerima, yang oleh Malinowski disebut the principle of reciprocity). Di antara berbagai aktivitas kebudayaan seperti itu termasuk pula hukum sebagai unsur kebudayaan yang sifatnya universal. Di atas telah disinggung bahwa di antara para ahli hukum ada Indonesia, hanya B. Ter Haar yang pernah memikirkan tentang batas antara adat dan hukum adat. Menurut Ter Haar, pedoman untuk mengetahui kapan suatu kasus dalam suatu masyarakat dengan adat dan sistem hukum yang tidak dikodifikasikan, merupakan kasus atau tidak, adalah keputusan-keputusan para individu pemegang kekuasaan dalam masyarakat. Pendirian ini diajukannya dalam beberapa pidato ilmiah yang pernah diucapkannya, antara lain pidato berjudul Het Adatprivaatrecht Van Nederlandsh-Indie In Wetenschap, Praktijk En Onderwijs (1937). Pendirian ini lebih dekat pada pendirian Radcliffe-Brown, baik dalam hukum maupun dalam hukum adat, dan sifat “paksaan” yang datang dari atas senantiasa ada. Dalam masyarakat yang tidak mengenal negara sebagai organisasi yang bersifat memaksa, paksaan dilakukan oleh golongan yang berkuasa, yang ada dalam setiap jenis masyarakat. 4.4. Unsur-Unsur Kebudayaan Unsur-unsur kebudayaan universal, dalam menganalisa suatu kebudayaan (misalnya saja kebudayaan Minangkabau, Bali, atau jepang), seorang ahli antropologi membagi seluruh kebudayaan yang terintegrasi itu ke dalam unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal”. Mengenai hal ini ada beberapa pandangan, seperti yang diuraikan oleh C. Kluckhohn dalam karangannya berjudul Universal Categories Of Culture (1953). Dengan mengambil intisari dari berbagai kerangka yang ada mengenai unsur-unsur kebudayaan universal, unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia berjumlah tujuh buah, yang dapat disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan, yaitu: 1. Bahasa 2. Sistem pengetahuan 3. Organisasi sosial 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi 5. Sistem mata pencaharian hidup 6. Sistem religi 7. Kesenian Tiap unsur kebudayaan universal tentu juga terdapat dalam ketiga wujud kebudayaan terurai di atas (wujud berupa sistem budaya, sistem sosial, dan unsur-unsur kebudayaan fisiknya). Dengan demikian sistem ekonomi dapat berupa konsep, rencana, kebijakan, adat-istiadat yang ada hubungannya dengan ekonomi, tetapi juga berupa konsep, rencana, kebijakan, adat-istiadat yang ada hubungannya dengan ekonomi, tetapi juga berupa tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, ahli transpor, dan pengecer dengan para konsumen, atau berbagi unsurnya, seperti peralatan, komoditi, dan benda-benda ekonomi. Serupa dengan hal tersebut di atas, sistem religi dapat mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, ruh-ruh halus, neraka, surga, dan lain-lain, tetapi juga sebagai berbagai bentuk upacara (baik yang musiman maupun yang kadangkala), maupun berupa benda-benda suci serta religius. Kesenian pun dapat berwujud berbagai gagasan, ciptaan, pikiran, dongeng, atau syair yang indah, tetapi juga dapat mempunyai wujud sebagai berbagai tindakan interaksi berpola antara sesama seniman pencipta, penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar, penonton, maupun para peminat hasil kesenian, disamping wujudnya berupa benda-benda yang indah, candi, kain tenun yang indah, dan lain-lain. 4.5. Integrasi Kebudayaan Metode Holistik. Cara menganalisa suatu kebudayaan tidak hanya dilakukan dengan berbagai cara merincinya ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil yang dipelajari secara mendetil saja, tetapi juga dengan memahami kaitan antara setiap unsur kecil tersebut serta kaitan antara unsur-unsur kecil itu dengan keseluruhannya. Istilah “holistik” adalah untuk menggambarkan metode pendekatan yang dilakukan terhadap suatu kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang integral. Antropologi memang telah mengembankan beberapa konsep guna memahami berbagai kaitan antara unsur-unsur kecil dalam suatu kebudayaan, dan para ahli tentu juga telah paham akan adanya integrasi atau jaringan berkait antara unsur-unsur kebudayaan itu. Namun perlunya mempelajari masalah integrasi kebudayaan itu secara lebih mendalam baru disadari setelah tahun 1920. Karena itu muncul konsep-konsep untuk menganalisa masalah integrasi kebudayaan, yakni pikiran kolektif, fungsi dari unsur-unsur kebudayaan, fokus kebudayaan, etos kebudayaan, dan kepribadian umum. Menurut Durkheim, apabila suatu kompleks pikiran kolektif sudah terbentuk dan menjadi mantap, maka seluruh kompleks itu berada di luar diri si individu karena seluruh pikiran kolektif serta gagasan-gagasan yang merupakan unsur-unsurnya akan tersimpa dalam bahasa dan dapat tetap dimiliki oleh generasi-generasi berikutnya. Selain di luar individu, pikiran kolektif juga berada di atas para warga suatu masyarakat, sehingga menjadi pedoman tingkah laku mereka. Beberapa ahli antropologi lain berusaha mencapai pengertian mengenai integrasi kebudayaan dan jaringan berkait antara unsur-unsurnya dengan meneliti fungsi unsur-unsur tersebut. Istilah “fungsi” dapat digunakan dalam bahasa sehari-hari maupun bahasa ilmiah dengan arti yang berbeda-beda. Pemakaian istilah itu dalam tulisan-tulisan ilmiah menurut ahli antropologi M.E. Spiro adalah untuk: 1. Menerangkan fungsi itu sebagai hubungan antara sesuatu hal dengan suatu tujuan tertentu (misalnya mobil mempunyai fungsi sebagai alat untuk mengangkut manusia atau barang dari suatu tempat ke tempat lain); 2. Menjelaskan kaitan antara suatu hal (X) dengan hal lain (Y), sehingga apabila nilai S berubah, maka nilai Y yang ditentukan oleh X, juga berubah; 3. Menerangkan hubungan yang terjadi antara suatu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang terintegrasi (suatu bagian dari organisme yang berubah menyebabkan perubahan pada berbagai bagian lain dan bahkan dapat menyebabkan perubahan dari seluruh organisme). “Fungsi” dalam arti yang pertama merupakan istilah yang umum, baik dalam bahasa ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari. Dalam ilmu pasti, tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial, artinya yang kedua dari istilah itu sangat penting, dan dalam artinya yang ketiga terkandung kesadaran akan adanya integrasi kebudayaan. Fokus Kebudayaan. Dalam berbagai kebudayaan terdapat satu atau beberapa unsur kebudayaan atau pranata yang menjadi unsur pusat dalam kebudayaan yang bersangkutan, sehingga unsur tersebut digemari oleh warga masyarakat dan mendominasi berbagai aktivitas atau pranata lain yang ada. Contohnya adalah kesenian dalam masyarakat orang Bali, gerakan kebatinan dan mistik dalam kebudayaan golongan pegawai negeri ( yaitu priyayi) di Jawa Tengah, perang antarfederasi kelompok kekerabatan dalam masyarakatsuku bangsa Dani di Irian Jaya (yang sejak tahun 1970-an sudah tidak diperkenankan lagi), atau kula dalam masyarakat penduduk Trobriand. Suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampaknya sangat digemari warga masyarakatnya sehingga mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan, oleh ahli antropologi Amerika R. Linton disebut cultural interest atau social interest. Untuk penggunaannya dalam bahasa Indonesia, penulis mengusulkan istilah “fokus kebudayaan”, yaitu suatu istilah yang untuk pertama kali digunakan oleh M.J. Herskovits. Etos Kebudayaan. Dari suatu kebudayaan dapat tampak suatu watak khas (ethos), seperti yang tampak misalnya pada gaya tingkah laku, kegemaran, atau benda-benda budaya hasil karya para warga masyarakatnya. Dengan demikian orang Batak yang mengamati kebudayaan Jawa yang baginya asing, mungkin akan mengatakan bahwa watak khas kebudayaan Jawa memancrkan keselarasan, kesuraman, ketenangan yang berlebihan sehingga dapat disebut lamban, kebiasaan serta tingkah laku yang mendetil, dan gema akan karya serta gagasan yang berbelit-belit. Gambarannya mengenai watak kebudayaan Jawa itu kemudian mungkin diilustrasikannya sebagai berikut: memiliki bahasa yang terpecah ke dalam tingkat-tingkat bahasayang sangat rumit dan rinci, sopan-santun dan gaya tingkah laku yang mencela gaya bicara dan tertawa yang keras, gerak-gerik yang ribut dan agresif, tetapi menilai tinggi tingkah laku yang tenang tetapi tidak tergoyahkan, kesenangan akan warna-warna gelap, seni suara gamelan yang tidak keras, benda-benda kesenian dan kerajinan dengan hiasan-hiasan yang sangat mendetil, dan lain-lain. Dengan cara menganalisa adat sopan-santun, upacara-upacara keagamaan, cerita-cerita mitologi, ataupun hasil kerajinan serta kesenian dalam keempat kebudayaan tersebut diatas, menurut Benedict warga kebudayaan Crow bersifat agresif, berwatak kaku, menghargai inisiatif, dan beranggapan bahwa keteguhan iman diperoleh dengan jalan menyakiti diri sendiri dan memilih jalan yang sukar. Karena sifat-sifat tersebut mirip dengan sifat-sifat dimiliki oleh Dewa Dionysus dalam mitologi Yunani Klasik, kebudayaan Indian Crow olehnnya disebut memiliki watak Dionysian. 4.6. Kebudayaan Dan Kerangka Teori Tindakan Definisi mengenai kebudayaan mengandung beberapa pengertian penting, yaitu bahwa kebudayaan hanya dimiliki oleh makhluk manusia; bahwa kebudayaan mula-mula hanya merupakan satu aspek saja dari proses evolusi manusia, yang kemudian menyebabkan bahwa manusia dapat melepaskan diri dari alam kehidupan makhluk-makhluk Primat lainnya; dan bahwa akhir-akhir ini kebudayaan seakan-akan berkembang menjadi suatu gejala superorganik. Walaupun demikian, karena kebudayaan yang berwujud gagasan dan tingkah laku manusia berasal dari otak dan tubuhnya, kebudayaan tetap berakar di dalam sistem organiknya. Kecuali itu, kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari kepribadian atau watak individu, yang terbentuk melalui suatu proses belajar yang panjang, sehingga menjadi bagian dari warga masyarakat yang bersangkutan. Dalam proses itu kepribadian atau watak individu berpengaruh pada perkembangan kebudayaannya. Dengan demikian pola-pola gagasan dan tindakan-tindakan manusia ditata, dikendalikan, dan dimantapkan oleh berbagai sistem nilai dan norma yang seakan-akan berada diatasnya. Dalam kerangka tersebut terkandung konsepsi baha dalam menganalisa suatu kebudayaan secara keseluruhan perlu dibuat perbedaan yang tajam antara komponen-komponennya, yaitu: 1. Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak, dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-konsep, tema-tema berpikir, serta keyakinan-keyakinan. Dengan demikian suatu sistem budaya merupakan bagian dari kebudayaan, yang dalam bahasa Indonesia lebih lazim disebut “adat-istiadat”. Fungsi dari sistem budaya adalah menata serta menetapkan tindakan-tindakan dan tingkah laku manusia. 2. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas atau tindakan-tindakan berinteraksi antarindividu yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai tindakan-tindakan berpola yang saling berkaitan, sistem sosial lebih konkret dan nyata sifatnya daripada sistem budaya, sehingga semuanya dapat dilihat dan diobservasi. Interaksi manusia itu di satu pihak lain dibudayakan menjadi pranata-pranata oleh nilai-nilai dan norma-norma tersebut. Di atas telah diuraikan metode untuk merinci pranata-pranata serta unsur-unsur kebudyaan yang mungkin ada dalam berbagai masyarakat manusia. 3. Sistem kepribadian adalah segala hal yang menyangkut isi jiwa serta watak individu dalam interaksinya sebagai warga dari suatu masyarakat. Walaupun kepribadian para individu dalam suatu masyarakat berbeda-beda, kepribadian juga terbentuk berkat adanya rangsangan dan pengaruh dari nilai-nilai serta norma-norma yang terdapat dalam sistem budayanya, dan adanya pola-pola bertindakdalam sistem sosial yang telah dijadikannya bagian dari dirinya melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan sejak masa kanak-kanak. Dengan demikian, sistem kepribadian berfungsi sebagai sumber motivasi bagi berbagai tindakan sosial seseorang. 4. Sistem organik merupakan pelengkap bagi seluruh kerangka, yang melibatkan proses biologi serta biokimia yang terdapat dalam diri manusia. Apabila kita pikirkan lebih mendalam, kepribadian, pola-pola tindakan, serta gagasan-gagasan yang dicetuskan seseorang turut menentukan sistem organiknya. Sebagian dair kerangka Teori Tindakan yang dihasilkan Kelompok Studi Harvard pimpinan Talcott Parsons. 5. Sistem Sosial Budaya Sistem sosial budaya merupakan konsep untuk menelaah asumsi-asumsi dasar dalam kehidupan masyarakat. Pemberian makna konsep sistem sosial budaya dianggap penting karena tidak hanya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem sosial budaya itu sendiri tetapi memberikan eksplanasi deskripsinhya melalui kenyataan di dalam kehidupan masyarakat. Pengertian Konsep Konsep merupakan ide, gagasan, atau pemikiran-pemikiran yang mentadi dasar (pembawa arti). Pada dasarnya konsep masih berwujud abstrak atu hanya angan-angan saja. Sistem Sosial Budaya Sistem merupakan pola-pola keteraturan; kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang saling berhubungan, Budaya sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri Komponen Utama dalam Kebudayaan 1. Kebudayaan Material, Mengacu pada semua ciptaan manusia yang konkret; 2. Kebudayaan Nonmaterial, Ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi Jadi, konsep dalam sistem sosial budaya dapat dideskripsikan sebagai suatu pemikiran dan ide yang berisikan mengenai komponen-komponen pembentuk kebudayaan suatu masyarakat. Pengertian Sistem Sosial Budaya Pengertian sistem menurut Tatang M. Amirin, “Sistem berasal dari bahasa Yunani yang berarti, suatu hubungan yang tersusun atas sebagian-bagian, hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur. Sosial berarti segala sesuatu yang beralian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyaakat dari orang atau sekelompok orang yang didalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nila-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Budaya berarti cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang didalamnya tercakup pula segala hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik material maupun yang psikologis, ideal, dan spiritual. Kehidupan Masyarakat Sebagai Sistem Sosial dan Budaya Kehidupan masyarakat dipandang sebagai suatu sistem atau sistem sosial, yaitu suatu keseluruhan bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan dalam suatu kesatuan. Alvin L. Bertrand, suatu sistem sosial terdapat dua orang atau lebih, terjadi interaksi antara mereka, bertujuan, dan memiliki struktur, harapan-harapan bersama yang didomainnya. Dalam sistem sosial pada umumnya terdapat proses yang saling mempengaruhi. Hal ini disebabkan karena adanya saling keterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya. Margono Slamet, sistem sosial dipengaruhi oleh ekologi; demografi; kebudayaan; kepribadian; waktu, sejarah, dan latar belakang. Ciri utama sstem sosial menerima unsur-unsur dari luar (terbuka). Namun juga menimbulkan terjalinnya ikatan antarunsur-unsur dengan unsur lainnya (internal) dan saling pertukaran antara sistem sosial itu sendiri dengan lingkungannya (eksternal). Proses-proses dalam sistem sosial: a. Komunikasi; b. Memelihara tapal batas; c. Penjalinan sistem; d. Sosialisasi; e. Pengawasan sosial; f. Pelembagaan; g. Perubahan sosial. Kehidupan Masyarakat Sebagai Sistem Budaya, mempelajari tentang sistem bertindak terhadap perilaku, unsur perilaku → “gerak sosial”, dengan 4 syarat yaiut untuk mencapai tujuan tertentu, terjadi pada situasi tertentu, diatur kaidah tertentu, dan didorong motivasi tertentu. Hakikat beberapa subsistem tsb sbg pengaturan/cybernetic order adalah tiap subsistem yang berada diatasnya menjadi pengatur untuk subsistem dibawahnya. Menurut Parsons, ke 4 subsistem bertindak sbg kebutuhan fungsional yg disebut sbg imperative functional LIGA. Gerak Sistem Sosial • Subsistem budaya (Latent patern maintenance); fungsi mempertahankan pola. Subsistem budaya memberi jawaban terhadap masalah dari faktor-faktor falsafah hidup. • Subsistem sosial (Integration); fungsi integrasi mencakup faktor-faktor penting dalam mencapai keadaan serasi antar sistem. • Subsistem kepribadian (Goal attaintment); fungsi mencapai tujuan. Faktor penentunya adalah pengembangan sistem untuk menjunjung nilai dan kaidah dan pengorganisasian untuk mencapai tujuan bersama. • Subsistem organisasi perilaku (Adaptation); fungsi adaptasi. Mencakup pengarahan dan penyesuaian kebutuhan pokok manusia dengan keadaan sekitar. 6. Adaptasi terhadap lingkungan alam dan sosial 6.1. Pola Adaptasi Sosial Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi (Gerungan,1991:55). Menurut Karta Sapoetra adaptasi mempunyai dua arti. Adaptasi yang pertama disebut penyesuaian diri yang autoplastis (auto artinya sendiri, plastis artinya bentuk), sedangkan pengertian yang kedua disebut penyesuaian diri yang allopstatis (allo artinya yang lain, palstis artinya bentuk). Jadi adaptasi ada yang artinya “pasif” yang mana kegiatan pribadi di tentukan oleh lingkungan. Dan ada yang artinya “aktif”, yang mana pribadi mempengaruhi lingkungan (Karta Sapoetra,1987:50). Menurut Suparlan (Suparlan,1993:20) adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Syarat-syarat dasar tersebut mencakup: 1. Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya); 2. Syarat dasar kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan gelisah). 3. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh). Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni: 1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. 2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. 4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan. 5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem. 6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan. Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut, Aminuddin menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu (Aminuddin, 2000: 38), di antaranya: a. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan; b. Menyalurkan ketegangan sosial; c. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial; d. Bertahan hidup. Di dalam adaptasi juga terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Suyono (1985), pola adalah suatu rangkaian unsur-unsur yang sudah menetap mengenai suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal menggambarkan atau mendeskripsikan gejala itu sendiri. Dari definisi tersebut diatas, pola adaptasi dalam penelitian ini adalah sebagai unsur-unsur yang sudah menetap dalam proses adaptasi yang dapat menggambarkan proses adaptasi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam interaksi, tingkah laku maupun dari masing-masing adat- istiadat kebudayaan yang ada. Proses adaptasi berlangsung dalam suatu perjalanan waktu yang tidak dapat diperhitungkan dengan tepat. Kurun waktunya bisa cepat, lambat, atau justru berakhir dengan kegagalan. Bagi manusia, lingkungan yang paling dekat dan nyata adalah alam fisio- organik. Baik lokasi fisik geografis sebagai tempat pemukiman yang sedikit banyaknya mempengaruhi ciri-ciri psikologisnya, maupun kebutuhan biologis yang harus dipenuhinya, keduanya merupakan lingkungan alam fisio-organik tempat manusia beradaptasi untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Alam fisio organik disebut juga lingkungan eksternal. Adaptasi dan campur tangan terhadap lingkungan eksternal merupakan fungsi kultural dan fungsi sosial dalam mengorganisasikan kemampuan manusia yang disebut teknologi. Keseluruhan prosedur adaptasi dan campur tangan terhadap lingkungan eksternal, termasuk keterampilan, keahlian teknik, dan peralatan mulai dari alat primitif samapai kepada komputer elektronis yang secara bersama-sama memungkinkan pengendalian aktif dan mengubah objek fisik serta lingkungan biologis untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup manusia. (Alimandan, 1995:56). Stategi adaptasi yang dilakukan dalam masyarakat pasca bencana alam dapat dilakukan dengan penanggulangan bencana alam yang tepat, agar masyarakat bisa aktif kembali pasca bencana alam. Besarnya potensi ancaman bencana alam yang setiap saat dapat mengancam dan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia serta guna meminimalkan risiko pada kejadian mendatang, perlu disikapi dengan meningkatkan kapasitas dalam penanganan dan pengurangan risiko bencana baik di tingkat Pemerintah maupun masyarakat. Sejauh ini telah tersedia perangkat regulasi penanggulangan bencana, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 yang memberikan kerangka penanggulangan bencana, meliputi prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Aktivitas penanggulangan bencana yang menjadi prioritas utama meliputi: mitigasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. 1. Mitigasi yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah apa yang akan terjadi terutama berdampak negatif pada lingkungan akibat bencana alam. 2. Rehabilitasi yaitu pemulihan kembali yang dilakukan terhadap kerusakan- kerusakan berupa fisik dan infrastruktur akibat bencana alam. 3. Rekontruksi yaitu membangun kembali dari kerusakan kerusakan yang terjadi akibat bencana alam. Penaggulangan bencana yang telah ditetpakan pemerintah dibuat guna membangun kembali daerah yang terkena bencana menggingat indonesia rawan akan bencana alam. 6.2. Perubahan Sosial Setiap kehidupan manusia akan mengalami perubahan. Perubahan itu dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola prilaku, perekonomian, lapisan- lapisan sosial dalam masyarakat, interaksi sosial dan yang lainya. Perubahan sosial terjadi pada semua masyarakat dalam setiap proses dan waktu, dampak perubahan tersebut dapat berakibat positif dan negatif. Terjadinya perubahan merupakan gejala yang wajar dalam kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena setiap manusia mempunyai kepentingan yang tidak terbatas. Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat secara suka rela atau di pengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya dan sistem sosial yang baru. Perubahan sosial terjadi pada dasarnya karena ada anggota masyarakat pada waktu tertentu merasa tidak puas lagi terhadap keadaan kehidupanya yang lama dan menganggap sudah tidak puas lagi atau tidak memadai untuk memenuhi kehidupan yang baru. Menurut Gillin dan Gillin (Abdulsyani,2002:163) perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Selain itu, Selo Soemardjan berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang memepengaruhi sistem sosial lainya, termasuk didalam nilai-nilai, sikap, dan pola prilaku antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Soerjono Soekanto (2000:338) berpendapat bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis, teknologis dan geografis, atau biologis yang menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Sebaliknya ada pula yang mengatakan bahwa semua kondisi tersebut sama pentingnya, satu atau semua akan menghasilkan perubahan-perubahan sosial. Adapun yang menjadi ciri-ciri perubahan sosial itu sendiri antara lain: a. Perubahan sosial terjadi secara terus menerus; b. Perubahan sosial selalu diikuti oleh perubahan-perubahan sosial lainnya; c. Perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara karena berada di dalam proses penyesuaian diri; d. Setiap masyarakat mengalami perubahan (masyarakat dinamis) Faktor Penyebab Perubahan Sosial: Perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi berpendapat bahwa perubahan sosial dapat bersumber dari dalam masyarakat (internal) dan faktor dari luar masyarakat (eksternal). 1. Faktor internal Perubahan sosial dapat disebakan oleh perubahan-perubahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Adapun faktor tersebut antara lain: a. Perkembangan ilmu pengetahuan, Penemuan-penemuan baru akibat perkembangan ilmu pengetahuan, baik berupa teknologi maupun berupa gagasan-gagasan menyebar kemasyarakat, dikenal, diakui, dan selanjutnya diterima serta menimbulkan perubahan sosial. b. Kependudukan, faktor ini berkaitan erat dengan bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk. c. Penemuan baru untuk memenuhi kebutuhannya, manusia berusaha untuk mencoba hal-hal yang baru. Pada suatu saat orang akan menemukan suatu yang baru baik berupa ide maupun benda. Penemuan baru sering berpengaruh terhadap bidang atau aspek lain. d. Konflik dalam masyarakat, adanya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat menyebabkan perubahan sosial dan budaya, pertentangan antara indvidu, individu dengan kelompok maupun antar kelompok sebenarnya didasari oleh perbedaan kepentingan. 2. Faktor eksternal Perubahan sosial disebabkan oleh perubahan-perubahan dari luar masyarakat itu sendiri seperti: a. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, Adanya interaksi langsung (tatap muka) antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya akan menyebabkan saling berpengaruh. Disamping itu, pengaruh dapat berlangsung melalui komunikasi satu arah, yakni komunikasi masyarakat dengan media-media massa. b. Peperangan, Terjadinya perang antar suku atau antar negara akan berakibat munculnya perubahan-perubahan pada suku atau negara yang kalah. Pada umumnya mereka akan memaksakan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh masyarakatnya, ataupun kebudayaan yang dimilikinya kepada suku atau negara yang mengalami kekalahan. c. Perubahan dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia, terjadinya gempa bumi, topan, banjir besar, gunung meletus dan lain-lain mungkin menyebabkan masyarakat-masyarakat yang mendiami daerah- daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya dan kemungkinan masih bertahan di daerahnya tersebut. Hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatanya karena masyarakatnya harus memulai kehidupan baru kembali. Sebab yang bersuber dari lingkungan alam fisik kadang-kadang ditimbulkan oleh tindakan para warga masyarakat itu sendiri. 6.3. Mobilitas Sosial Didalam sosiologi, proses keberhasilan seseorang mencapai jenjang status sosial yang lebih tinggi atau proses kegagalan seseorang hingga jatuh di kelas sosial yang lebih rendah itulah yang disebut mobilitas sosial. Dengan demikian, jika kita berbicara mengenai mobilitas sosial hendaknya tidak terlalu diartikan sebagai bentuk perpindahan dari tingkat yang lebih rendah ke suatu tempat yang lebih tinggi karena mobilitas sosial sesungguhnya dapat berlangsung dalam dua arah. Sebagaian orang berhasil mencapai status yang lebih tinggi, beberapa orang mengalami kegagalan, dan selebihnya tetap tinggal pada ststus yang dimiliki orang tua mereka. Menurut horton dan hunt (1987), lembaga sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainya. Mobilitas sosial bisa berupa peningkatkan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk juga segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok. Tingkat mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berbeda-beda. Masyarakat yang sistem kelas sosialnya terbuka maka mobilitas sosial masyarakatnya akan cenderung tinggi. Tetapi sebaliknya pada sistem kelas sosial tertutup seperti masyarakat feodal atau masyarakat bersistem kasta maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada. Jenis mobilitas sosial Dalam mobilitas sosial secara prinsip dikenal dua macam, yaitu mobilitas sosial vertikal dan mobilitas sosial horizontal. 1. Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosial kekedudukan sosial lainya yang tidak sederajat (sukato,1982:244). Sesuai dengan arahnya, karena itu dikenal dua jenis mobilitas sosial vertikal , yakni: a. Gerak sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi. b. Gerak sosial yang menurun (social sinking) yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lain kebih rendah posisinya. Menurut Soedjatmoko (1980), mudah tidaknya seseorang melakukan mobilitas vertikal salah satunya ditentukan oleh kekakuan dan keluwesan struktur sosial dimana orang itu hidup. Seseorang yang memiliki bekal pendidikan yang tinggi bergelar doktor atau MBA, misalnya hidup di lingkungan masyrakat yang menghargai profesionalisme, besar kemungkinan akan lebih mudah menembus batasan-batasan lapisan sosial dan naik pada kedudukan lebih tinggi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Berbeda dengan mobilitas sosial vertikal yang berarti perpindahan dalam jenjang status yang berbeda, 2. Mobilitas sosial horizontal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Dalam mobilitas sosial horizontal tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun objek sosial lainnya. Mobilitas sosial memungkinkan orang untuk menduduki jabatan yang sesuai dengan keinginannya, tetapi terdapat juga beberapa kerugian disamping manfaatnya. Beberapa kerugian akibat adanya mobilitas sosial antara lain adalah memungkinkan terjadinya ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan di benak seseorang karena impian yang didambakan tidak semuanya dapat dicapai dengan mudah. Secara rinci horton dan hunt (1987), mencatat beberapa konsekuensi negatif dari mobilitas sosial vertikal seperti kecemasan akan terjadinya penurunan status bila terjadi mobilitas menurun, ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang meningkat, keretakan hubungan antara anggota kelompok primer yang semula karena seseorang bepindah ke status yang lebih tinggi atau status yang lebih rendah. Mobilitas sosial dapat merenggangkan ikatan sosial yang sudah lama terjalin, sehingga memungkinkan pula terjadinya keterasingan di antara warga masyarakat. Perubahan mobilitas yang terjadi dalam masyarakat dapat diterima masyarakat bila telah melakukan penyesuaian atau adaptasi.(Suyanto 2010: 207-213) 7. Antropologi Sosial Budaya Dalam Ilmu Komunikasi Antropologi dikatakan sebagai salah satu akar atau landasan lahirnya ilmu komunikasi. Seiring dengan perkembangan antropolgi tersebutlah akhirnya para ahli budaya melihat jika dalam budaya juga sangat tergantung pada komunikasi. Hal inilah yang kemudian dikaji mengenai proses dari komunikasi tersebut sehingga lahirlah ilmu komunikasi dari antroplogi. Namun untuk lebih jelasnya mengenai keterkaitan tersebut sebaiknya kita terlebih dahulu melihat menganai antopologi dan komunikasi itu sendiri. Kebudayaan adalah komunikasi simbolis, simbolisme itu adalah keterampilan kelompok, pengetahuan, sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbol-simbol itu dipelajari dan disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi. Menurut Levo-Henriksson (1994), kebudayaan itu meliputi semua aspek kehidupan kita setiap hari, terutama pandangan hidup – apapun bentuknya – baik itu mitos maupun sistem nilai dalam masyarakat. Ross (1986,hlm 155) melihat kebudayaan sebagai sistem gaya hidup dan ia merupakan faktor utama (common domitor) bagi pembentukan gaya hidup. Peradaban Romawi dan Yunani menjadi dasar bagi antropologi terutama yang berkaitan dengan maslah estetika, etika, metafisika, logam dan sejarah. Mempelajari antropologi dapat dilihat dari segi sejarah harus didasarkan pada orientasi humanistic, sejarah dan ilmu alam, karena perbedaan kondisi iklim dan keadaan permukaan tanah akan membawa peradaban keaadaan fisik, karakteristik dan konstitusi suatu masyarakat yang berbeda (Hipocrates 1962: 135). Memformulasikan tradisi filosofis dan tradisi keilmuan akan memberikan proposisi-proposisi sebagai berikut: 1. Segala sesuatu itu mempunyai sebuah bentuk yang menentukan maksud dari bentuk tersebut; 2. Semua hal yang ada dalam suatu Negara akan mengalami perubahan secara terus menerus; perubahan tersebut akan berkisar antara integrasi dan disintegrasi; 3. Setiap bentuk merupakan sebuah struktur yang setiap bagiannya tersusun secara berbeda-beda tergantung dari kepentingannya; 4. Desain setiap bagian memberikan sumbangan pada keseluruhan sistem sosial melalui aktualisasi; 5. Dalam setiap sistem terjadi penyaringan untuk membuat keseimbangan dalam setiap bagian sistem; 6. Perubahan yang terjadi pada salah satu bagian system akan menganggu aktivitas dan akan mengakibatkan ketidak harmonisan dalam sistem tersebut; 7. Perubahan secara besar-besaran merupakan hasil modifikasi internal dari suatu bagian yang sedang diperluas dan kemudian dikontrol dengan membangun kembali harmosisasi dalam sistem. Budaya sebagai konsep sentral. Linton (1945:32) memberikan definisi budaya secara spesifik, yaitu, budaya merupakan konfigurasi dari prilaku manusia dari elemen-elemen yang ditransformasikan oleh anggota masyarakat. Budaya secara umum telah dianggap sebagai milik manusia, dan digunakan sebagai alat komunikasi sosial di mana didalamnya terdapat proses peniruan. Selanjutnya konsep budaya telah menuntun para pakar etnologi Amerika dan Jerman kedalam suatu bentuk teoritik. Setelah Radcliffe-Brown (1965:5) para ilmuan antropologi sosial Prancis dan Inggris cenderung untuk membedakan konsep budaya dan sosial dan cenderung membatasi kedua konsep tersebut pada cara belajar berfikir, merasa, dan bertindak, yang merupakan dari proses sosial. C. Kluchohn menghimpun dan menerbitkan kembali 164 definisi kebudayaan yang dikelompokkan menjadi enam: deskriptif, historical, normatif, psikologis, struktural dan genetic. Klukhohn melalui Universal Categories od Culture (1953) merumuskan 7 unsur kebudayaan yang unierasl (Koentjaraningrat, 1979: 218) yaitu: a. Sistem teknologi, yaitu peralatan dan perlengkapan hidup menusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transport dan sebagainya. b. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekomoni (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lainnya). c. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hokum dan sistem perkawinan). d. Bahasa (lisan dan tulisan). e. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya). f. Sistem pengetahuan. g. Religi (sistem kepercayaan) (Burhan Bungin, 2006: 53). Setiap praktik komunikasi pada dasarnya adalah suatu representasi budaya, atau tepatnya suatu peta atas suatu relitas (budaya) yang sangat rumit. Komunikasi dan budaya adalah dua entitas tak terpisahkan, sebagaimana dikatakan Edward T. Hall, “budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Begitu kita mulai berbicara tentang komunikasi, tak terhindarkan, kita pun berbicara tentang budaya (Deddy Mulyana, 2004 :14). Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi. Karena budaya muncul melalui komunikasi. Akan tetapi pada gilirannya budaya yang tercipta pun mempengaruhi cara berkomunikasi anggota budaya yang bersangkutan. Hubungan antara budaya dan komunikasi adalah timbale balik. Budaya takkan eksis tanpa komunikasi dn komunikasi pun takkan eksis tanpa budaya. Entitas yang satu takkan berubah tanpa perubahan entitas lainnya. Menurut Alfred G. Smith, budaya adalah kode yang kita pelajari bersama dan untuk itu dibutuhkan komunikasi. Komunikasi membutuhkan perkodean dan simbol-simbol yang harus dipelajari. Godwin C. Chu mengatakan bhawa setiap pola budaya dan tindakan melibatkan komunikasi. Untuk dipahami, keduanya harus dipelajari bersama-sama. Budaya takkan dapat dipahami tanpa mempelajari komunikasi, dan komunikasi hanya dapat dipahami dengan memahami budaya yang mendukungnya (Deddy Mulyana, 2004: 14). Beberapa bidang konsep antropologi budaya yang dikaji yang sangat relavan dengan komunikasi yaitu; a. Objek simbol, umpamanya bendara melambangkan bangsa dan uang menggambarkan pekerjaan dan barang-barang dagangan (komoditi); b. Karakteristik objek dalam kultur manusia. contoh warna unggu dipahami untuk “kerajaan”, hitam untuk “duka cita” warna kuning untuk “kekecutan hati”, putih untuk untuk “kesucian”, merah untuk “keberanian” dan sebagainya; c. Ketiga adalah gesture dimana tindakan yang memiliki makna simbolis, senyuman dan kedipan, lambaian tangan, kerutan kening, masing-masing memiliki makna tersendiri dan semuanya memiliki makna dalam konteks cultural; d. Simbol adalah jarak yang luas dari pembicaraan dan kata-kata yang tertulis dalam meyusun bahsa. Bahasa adalah kumpulan simbol paling penting dalam kultur. Gatewood menjawab bahwa kebudayaan yang meliputi seluruh kemanusian itu sangat banyak, dan hal tersebut meliputi seluruh periode waktu dan tempat. Artinya kalau komunikasi itu merupakan bentuk, metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang membudaya, maka komunikasi adalah sarana bagi transmisi kebudayan, oleh karena itu kebudayaan itu sendiri merupakan komunikasi. Berdasarkan pendapat Gatewood itu kita akan berhadapan dengan pernyataan klasik tentang hubungan antara komunikasi dengan kebudayaa, apakah komunikasi dalam kebudayaan atau kebudayaan ada dalam komunikasi? ada satu jawaban netral yang disampaikan oleh Smith (1976) bahwa; “komunikasi dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan”. Dalam tema atau bagian uraian tentang kebudayaan dan komunikasi, sekurangnya-kurangnya ada dua jawaban: pertama, dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi, dan kedua, hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan dan kebuadayaan hanya akan eksis jika ada komunikasi (Alo Leliweri, 2004, 21). Budaya adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari komunikasi. Masyarakat terbentuk dari nilai norma yang mengatur mereka. Manusia merupakan homostatis di mana komunikasi membentuk kebudayaan dan juga bagian dari kebuadayaan itu sendiri. Dalam kehidupan budaya masyarakat dan intekasi menyebabkan maka terjadinya proses komunikasi yang menjadi alat bantu atau guna membantu mereka dalam berinteraksi dengan baik. Bahasa yang merupakan alat komunikasi juga sangat dipengaruhi oleh proses budaya. Dengan adanya kesamaan mengenai memaknai sesuatu tersebutlah sehingga membentuk suatu kebudayaan yang lebih baik dalam interkasi. Pengaruh komunikasi yang disebabkan oleh budaya ini pulalah yang menjadikan perbedaan pemaknaan dari setiap budaya masyarakat dalam berkomunikasi. Jadi, antropologi merupakan ilmu yang lebih dahulu ada dalam memahami perkembangan interaksi manusia, kemudian antropologi ini terus berkembang sehingga mulai melihat dan mengkaji pada prose komunikasi yang tercipta. Inilah yang kemudian menjadikan antropologi menjadi salah satu landasan sehingga lahirnya ilmu komunikasi. Komunikasi, sosial, budaya, dan perkembangan peradaban sekarang ini adalah tidak hanya sekedar unsur-unsur dan kata-kata saja tetapi merupakan konsep yang yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sehingga studi komunikasi sangat dipengaruhi oleh kajian antropologi begitu juga perkembangan antropologi yang didasarkan pada kekuatan manusia dalam menciptakan peradabannya sangat terkait oleh komunikasi. 8. Alasan Mempelajari Komunikasi Lintas Budaya Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalahpahaman. Akibat dari kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak kita temui dalam berbagai kejadian yang mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud konflik-konflik yang berujung pada kerusuhan atau pertentangan antar etnis. Sebagai salah satu jalan keluar untuk meminimalisir kesalahpahaman-kesalahpahaman akibat perbedaan budaya adalah dengan mengerti atau paling tidak mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi lintas budaya dan mempraktekkannya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota),latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Untuk memerinci alasan dan tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya Litvin (1977) menyebutkan beberapa alasan diantaranya sebagai berikut: 1. Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan. 2. Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda. 3. Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya. 4. Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri. 5. Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku. 6. Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain. 7. Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia. 8. Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya. 9. Pengalaman-pengalaman antar budaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian. 10. Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural. 11. Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan. 12. Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan. Sedangkan mengenai tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, Litvin (1977) menguraikan bahwa tujuan itu bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk: 1. Menyadari bias budaya sendiri; 2. Lebih peka secara budaya; 3. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut; 4. Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri; 5. Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang; 6. Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri; 7. Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya; 8. Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri:asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya; 9. Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antar budaya; 10. Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami. PENGERTIAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA Komunikasi lintas budaya merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antar pribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan. Pada awalnya, studi lintas budaya berasal dari perspektif antropologi sosial dan budaya sehingga kajiannya lebih bersifat depth description, yakni penggambaran yang mendalam tentang perilaku komunikasi berdasarkan budaya tertentu. Banyak pembahasan komunikasi lintas budaya yang berkisar pada perbandingan perilaku komunikasi antarbudaya dengan menunjukkan perbedaan dan persamaan sebagai berikut: 1. Persepsi, yaitu sifat dasar persepsi dan pengalaman persepsi, peranan lingkungan sosial dan fisik terhadap pembentukan persepsi; 2. Kognisi, yang terdiri dari unsur-unsur khusus kebudayaan, proses berpikir, bahasa dan cara berpikir; 3. Sosialisasi, berhubungan dengan masalah sosialisasi universal dan relativitas, tujuan-tujuan institusionalisasi; dan 4. Kepribadian, misalnya tipe-tipe budaya pribadi yang mempengaruhi etos, dan tipologi karakter atau watak bangsa. PERBEDAAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DENGAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA, KOMUNIKASI TRANSRASIAL DAN KOMUNIKASI INTERNASIONAL. Jika komunikasi lintas budaya lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan, maka studi komunikasi antarbudaya lebih mendekati objek melalui pendekatan kritik budaya. Aspek utama dari komunikasi antar budaya adalah komunikasi antar pribadi diantara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda. Dari gambar satu di atas terlihat bahwa komunikasi antar budaya merupakan komunikasi antar pribadi dari kebudayaan yang berbeda. Tidak masalah apakah kejadian itu terjadi dalam satu bangsa atau antar bangsa yang berbeda, yang jelas adalah budayanya yang berbeda. Selanjutnya untuk menghindari ketumpangtindihan yang sering terjadi maka selanjutnya kita akan membicarakan kajian komunikasi internasional. Komunikasi internasional merupakan komunikasi yang bersifat interaktif yang menggunakan media. Objek formal komunikasi internasional senantiasa berhubungan dengan media massa yang dianggap sebagai agen penyebaran berita-berita internasional dari media “sumber” di satu negara kepada “penerima” di negara lain. Komunikasi internasional pada umumnya melibatkan dua atau lebih negara di mana produk komunikasi massa disebarkan melintasi batas negara melalui struktur jaringan komunikasi tertentu. Secara lebih spesifik, studi-studi komunikasi internasional dapat dikategorikan atas pendekatan maupun metodologi sebagai berikut: 1. Pendekatan peta bumi (geographical approach) yang membahas arus informasi maupun, liputan internasional pada bangsa atau negara tertentu, wilayah tertentu, ataupun lingkup dunia, disamping antar wilayah. 2. Pendekatan media (media approach), adalah pengkajian berita internasional melalui satu medium atau multi media. 3. Pendekatan peristiwa (event approach) yang mengkaji satu peristiwa lewat medium. 4. Pendekatan ideologis (ideological approach), yang membandingkan sistem pers antar bangsa atau melihat penyebaran arus berita internasional dari sudut ideologis semata-mata. Selanjutnya kita akan membicarakan tentang komunikasi transrasial. Transrasial berarti melintasi batas rasial. Dalam antropologi, konsep transrasial ini sama dengan konsep antar etnik. Smith (1973) mengatakan bahwa kelompok etnik adalah sekelompok orang yang dipersatukan oleh kesamaan warisan sejarah, kebudayaan, aspirasi, cita-cita dan harapan, tujuan, bahkan kecemasan dan ketakutan yang sama. Pemahaman terhadap konsep transrasial ini dapat diikuti pada gambar berikut: Dari gambar di atas terlihat bahwa komunikasi transrasial dilakukan antara dua orang yang berbeda etnik/ras. Dimana masing-masing inisiator mengirimkan pesan melintasi suatu “ambang” batas simbol-simbol yang dapat dipahami bersama. Komunikasi transrasial sebenarnya memiliki kemiripan dengan komunikasi lintas budaya, hanya saja dalam komunikasi transrasial lebih diarahkan pada proses komunikasi internasional yang meliputi komunikasi diantara mereka yang berbeda etnik dan ras. Komunikasi transrasial bisa berbentuk diadic dan bisa juga berbentuk komunikasi massa. Ada empat kategorisasi komunikasi transrasial “diadic” yang didasarkan pada: 1) Kesamaan kodifikasi, yang meliputi proses pembakuan kode-kode komunikasi/simbol dan “sign” yang tumpang tindih; 2) Kedekatan pengirim dan penerima; 3) masalah perspektif; dan 4) Keterampilan umum berkomunikasi. MEMAHAMI DAN MENDEFINISIKAN KOMUNIKASI DAN BUDAYA Komunikasi lintas budaya terjadi bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya yang lain. Oleh karena itu, sebelum membicarakan Komunikasi Lintas Budaya lebih lanjut kita akan membahas konsep komunikasi dan budaya dan hubungan diantara keduanya terlebih dahulu. Pembicaraan tentang komunikasi akan diawali dengan asumsi bahwa komunikasi berhubungan dengan kebutuhan manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Kebutuhan berhubungan sosial ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Dan proses berkomunikasi itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin tidak dilakukan oleh seseorang karena setiap perilaku seseorang memiliki potensi komunikasi. Proses komunikasi melibatkan unsur-unsur sumber (komunikator), Pesan, media, penerima dan efek. Disamping itu proses komunikasi juga merupakan sebuah proses yang sifatnya dinamik, terus berlangsung dan selalu berubah, dan interaktif, yaitu terjadi antara sumber dan penerima.Proses komunikasi juga terjadi dalam konteks fisik dan konteks sosial, karena komunikasi bersifat interaktif sehingga tidak mungkin proses komunikasi terjadi dalam kondisi terisolasi. Konteks fisik dan konteks sosial inilah yang kemudian merefleksikan bagaimana seseorang hidup dan berinteraksi dengan orang lainnya sehingga terciptalah pola-pola interaksi dalam masyarakat yang kemudian berkembang menjadi suatu budaya. Adapun budaya itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-pola budaya yang ada di masyarakat. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.(Mulyana, 1996:18) Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan satu sama lain, karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siap, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya merupakan landasan komunikasi sehingga bila budaya beraneka ragam maka beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi yang berkembang. MEMAHAMI PERBEDAAN-PERBEDAAN BUDAYA Budaya adalah gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh sebagian orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang yang lainnya – budaya dimiliki oleh seluruh manusia dan dengan demikian seharusnya budaya menjadi salah satu faktor pemersatu. Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Individu-individu sangat cenderung menerima dan mempercayai apa yang dikatakan budaya mereka. Mereka dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat dimana mereka tinggal dan dibesarkan, terlepas dari bagaimana validitas objektif masukan dan penanaman budaya ini pada dirinya. Individu-individu itu cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan “kebenaran” kultural atau bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaannya. Inilah yang seringkali merupakan landasan bagi prasangka yang tumbuh diantara anggota-anggota kelompok lain, bagi penolakan untuk berubah ketika gagasan-gagasan yang sudah mapan menghadapi tantangan. Setiap budaya memberi identitas kepada sekolompok orang tertentu sehingga jika kita ingin lebih mudah memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam msaing-masing budaya tersebut paling tidak kita harus mampu untuk mengidentifikasi identitas dari masing-masing budaya tersebut yang antara lain terlihat pada: 1. Komunikasi dan Bahasa Sistem komunikasi, verbal maupun nonverbal, membedakan suatu kelompok dari kelompok lainnya. Terdapat banyak sekali bahasa verbal diseluruh dunia ini demikian pula bahasa nonverbal, meskipun bahasa tubuh (nonverbal) sering dianggap bersifat universal namun perwujudannya sering berbeda secara lokal. 2. Pakaian dan Penampilan Pakaian dan penampilan ini meliputi pakaian dan dandanan luar juga dekorasi tubuh yang cenderung berbeda secara kultural. 3. Makanan dan Kebiasaan Makan Cara memilih, menyiapkan, menyajikan dan memakan makanan sering berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Subkultur-subkultur juga dapat dianalisis dari perspektif ini, seperti ruang makan eksekutif, asrama tentara, ruang minum teh wanita, dan restoran vegetarian. 4. Waktu dan Kesadaran akan waktu Kesadaran akan waktu berbeda antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Sebagian orang tepat waktu dan sebagian lainnya merelatifkan waktu. 5. Penghargaan dan Pengakuan Suatu cara untuk mengamati suatu budaya adalah dengan memperhatikan cara dan metode memberikan pujian bagi perbuatan-perbuatan baik dan berani, lama pengabdian atau bentuk-bentuk lain penyelesaian tugas. 6. Hubungan-Hubungan Budaya juga mengatur hubungan-hubungan manusia dan hubungan-hubungan organisasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status, kekeluargaan, kekayaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan. 7. Nilai dan Norma Berdasarkan sistem nilai yang dianutnya, suatu budaya menentukan norma-norma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Aturan ini bisa berkenaan dengan berbagai hal, mulai dari etika kerja atau kesenangan hingga kepatuhan mutlak atau kebolehan bagi anak-anak; dari penyerahan istri secara kaku kepada suaminya hingga kebebasan wanita secara total. 8. Rasa Diri dan Ruang Kenyamanan yang dimiliki seseorang atas dirinya bisa diekspresikan secara berbeda oleh masing-masing budaya. Beberapa budaya sangat terstruktur dan formal, sementara budaya linnya lebih lentur dan informal. Beberapa budaya sangat tertutup dan menentukan tempat seseorang secara persis, sementara budaya-budaya lain lebih terbuka dan berubah. 9. Proses mental dan belajar Beberapa budaya menekankan aspek perkembangan otak ketimbang aspek lainnya sehingga orang dapat mengamati perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam cara orang-orang berpikir dan belajar. 10. Kepercayaan dan sikap Semua budaya tampaknya mempunyai perhatian terhadap hal-hal supernatural yang jelas dalam agama-agama dan praktek keagamaan atau kepercayaan mereka. MAKNA PERSPEKTIF TEORITIS Teori-teori Komunikasi Lintas Budaya merupakan teori-teori yang secara khusus menggeneralisasi konsep komunikasi diantara komunikator dengan komunikan yang berbeda kebudayaan, dan yang membahas pengaruh kebudayaan terhadap kegiatan komunikasi. DR. Alo Liliweri mengatakan bahwa paling tidak ada tiga sumber yang bisa digunakan untuk menggeneralisasi teori komunikasi lintas budaya, yakni: 1. Teori-teori komunikasi antar budaya yang dibangun akibat perluasan teori komunikasi yang secara khusus dirancang untuk menjelaskan komunikasi intra/antar budaya. 2. Teori-teori baru yang dibentuk dari hasil-hasil penelitian khusus dalam bidang komunikasi antar budaya. 3. Teori-teori komunikasi antar budaya yang diperoleh dari hasil generalisasi teori ilmu lain, termasuk proses sosial yang bersifat isomorfis. MAKNA PERSPEKTIF SUBJEKTIF/EMIK Pada prinsipnya dalam penelitian yang menggunakan perspektif ini maka peneliti “menjadikan dirinya” sebagai bagian dari kebudayaan yang dia teliti, atau dengan kata lain, peneliti bertindak sebagai partisipan penuh karena dia masuk dalam suatu struktur budaya tertentu.(Liliweri, 2001:34) Dalam penelitian berperspektif subjektif ini biasanya peneliti akan menolak masukan variabel kebudayaan lain ke dalam kebudayaan yang sedang diteliti. Oleh karena itu, para peneliti yang menggunakan perspektif ini kerap kali mendapat kritik karena gambaran yang diberikan tentang kebudayaan yang ditelitinya terlalu sedikit. Pendekatan subjektif pun sering mengkritik peneliti yang menarik kesimpulan tentang suatu budaya tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang berlaku pada kebudayaan lain. MAKNA PERSPEKTIF OBJEKTIF/ETIK Dalam penelitian yang menggunakan perspektif objektif ini seorang peneliti akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap objek tertentu. Penggunaan perbedaan kebudayaan dilakukan untuk menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan untuk menunjukkan bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan untuk meneliti perbedaan budaya. Berikut adalah tabel yang dapat memudahkan kita untuk memahami perbedaan perspektif subjektif/emik dengan perspektif objektif/etik dalam komunikasi antar budaya. Emik dan Etik 1. Peneliti mempelajari perilaku manusia dari dalam kebudayaan objek penelitian. Peneliti mempelajari perilaku manusia dari luar kebudayaan objek penelitian 2. Peneliti hanya meneliti satu kebudayaan; Peneliti menguji banyak kebudayaan dan membandingkan kebudayaan tersebut; 3. Struktur kebudayaan ditemukan sendiri oleh peneliti; Struktur diciptakan oleh peneliti 4. Umumnya kriteria-kriteria yang diterapkan ke dalam karakteristik kebudayaan sangat realtif; Kriteria-kriteria kebudayaan bersifat mutlak dan berlaku universal TEORI-TEORI BERDASARKAN PERSPEKTIF ILMU KOMUNIKASI Gundykunst (1983) mengemukakan bahwa terdapat lima pendekatan dalam ilmu komunikasi yang diasumsikan dapat menerangkan komunikasi lintas (antar) budaya. Kelima pendekatan tersebut adalah: 1. Teori Komunikasi berdasarkan analisis kebudayaan implisit. Kebudayaan implisit adalam kebudayaan immmaterial, kebudayaan yang bentuknya tidak nampak sebagai benda namun dia “tercantum” atau “tersirat” dalam nilai dan norma budaya suatu masyarakat, misalnya bahasa. Pendekatan kebudayaan implisit mengandung beberapa asumsi yaitu: 1. Kebudayaan mempengaruhi skema kognitif; 2. Kebudayaan mempengaruhi organisasi tujuan dan strategi tindakan; 3. Kebudayaan mempengaruhi pengorganisasian skema interaksi; dan 4. Kebudayaan mempengaruhi proses komunikasi. 2. Teori Analisis Kaidah Peran. Dari berbagai penelitian yang dilakukan maka diketahui bahwa telah terjadi beragam variasi penerapan prinsip-prinsip teori “kaidah peran”. Beberapa isu yang menonjol misalnya: 1. Apa saja sifat dasar yang dimiliki suatu masyarakat? 2. Apa yang dimaksudkan dengan kaidah peran? 3. Apa hubungan antara aktor dan kaidah persan? Apakah setiap kaidah peran mampu menerangkan atau mengakibatkan perilaku tertentu? 3. Teori analisis Interaksi antar budaya Ada beberapa pendektan ilmu komunikasi yang sering digunakan untuk menerangkan interaksi antar budaya, yakni: 1. Pendekatan jaringan metateoritikal, yaitu studi tentang bagaimana derajat hubungan antar pribadi; 2. Teori Pertukaran. Inti teori ini mengatakan bahwa hubungan antarpribadi bisa diteruskan dan dihentikan. Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan antarpribadi maka makin besar peluang hubungan tersebut diteruskan. Sebaliknya makin kecil keuntungan yang diperoleh, maka makin kecil peluang hubungan tersebut diteruskan. Wood (1982) dalam Liliwer (1994) mengidentifikasi 12 karakteristik pendekatan pertukaran tersebut: 1) Prinsip individual, 2) Komunikasi Coba-coba, 3) Komunikasi eksplorasi, 4) Komunikasi euphoria, 5) Komunikasi yang memperbaiki, 6) komunikasi pertalian, 7) Komunikasi sebagai pengemudi, 8) komunikasi yang membedakan, 9) Komunikasi yang disintegratif, 10) Komunikasi yang macet, 11) Pengakhiran komunikasi, 12) Individualis. 4. Teori pengurangan tingkat kepastian Berger (1982) menyatakan bahwa salah satu dari fungsi utama komunikasi adalah fungsi informasi yaitu untuk mengurangi tingkat ketidakpastian komunikator dan komunikan. Setiap individu memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi tertentu tentang pihak lain. Berger merekomendasikan strategi pencarian informasi sebagai berikut: 1. Mengamati pihak lain secara pasif, 2. Menyelidiki atau menelusuri pihak lain, 3. menanyakan informasi melalui pihak ketiga, 4. penanganan lingkungan kehidupan pihak lain, 5. Interogasi, 6. Membuka diri. 9. Antropologi Sosial Budaya Dalam Perspektif Agama Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi Sosial Budaya mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai common sense dan religious mencatau mystical event. Dalam satu sisi common sense mencerminkan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementara itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi. Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini, usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama, sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia. Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia, karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikan-Islam that is practiced-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagaman manusia. Di Indonesia usaha para antroplog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang popular sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang menungkapkan tentang adanya trikotomi abangan, santri dan priyayi di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mmpengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama khususnya Islam dan budaya di jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antar keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz. Pandangan trokotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religiokulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan polotik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideolog keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas polotik, yang jelas-jelas menunjukan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis perdagangan dan priyayi yang dominant didalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik yang isu-isu kerakyatan priyayi dengan partai nasional, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan. Teori politik aliran ini, menuarut bahtiar effendy memberikan arti penting terhadap wancana tentang hubungan antara agama khususnya agama Islam dan Negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokan religio-sosial di Indonesia. Karya Geertz ini ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indoesia telah berhasil memberikan wancana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara langsung secara detail hubungan langsung antara agama dan masyarakat dalam tataran grassroot memberikan langsung informasi yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Melihat agama dimasyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikan, diinterprestasi , dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikan. Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wancana posmodemisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodermis adalah “Fenomena” atau sebuah kerangka “discontruction theory”, mereka bersepakat tentang bangkitnnya dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran. Budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang di sinyalir oleh fukuyama dengan klaimnya The End of History and the last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang baik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat telekomunikasi dan computer dengan internetrnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung urusan dengan budaya seperrti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antar budaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya : mercusuar “ untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas barat, menunjukan bangkitnya “ pengetahuan lokal “ di era posmoderisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia atau munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting. Bassam Tibi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkinkan manusia untuk melakukan dialog antar kebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikkan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya demokrasi asia ( Asian Democracy ) atau demokrasi Islam ( Islamic Democracy ) . tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel hunting Ton. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antar budaya untuk menularkan yang ia sebut sebagai “ international Morality “, suatu sistem nilai yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada. Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian islam maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social kontexs yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan kedalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaan dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hali ini jelas menunjukan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak menjadi sempurna. Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak ke dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengolaborasikan pengertian kebudayaan sebagai pola makna ( Petren of Meaning ) yang diwariskan secara histories tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, perilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hokum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretative untuk mmencari makna ( meaning ).dipandang dari makna kebudayaan yang demikian maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai etos dan juga worldviewnya. Clifford Geertz mengartikan etos sebagai tone karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estetika mereka. Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya disamping itu agama meberikan gambaran realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai etos telah memberikan karakter yang khusus bagu manusia, yang kemudian bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan ( worldview )yang hendak dicapai oleh manusia. Kedua kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian islam untuk lebih melihat keagamaan pengaruh budaya dalam praktik islam. Pemahaman realitasnya nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian islam yang lebih empiris kajian agama dan rose kultur akan memberikan gambaran yanag variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang di sebut Tibbi sebagai “ Internatioonal Morality”. Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama Bagi seorang antropolog, pentingya agama terletak pada kemampuanya untuk berlaku bagi seorang individu atau sebuah kelompok sebagai sumber konsep umum namun jelas, tentang dunia, diri, dan hubungan-hubungan diantara keduanya, disatu pihak yaitu dari segi agama itu, dan dilain pihak sumber disposisi_pihak, yaitu model dari segi agama itu, dan di lain pihak sumber disposisi-disposisi “mental” yang berakar, yang tak kurang jelasnya, yaitu model untuk segi agama itu. Memahami bagaiman pandangan-pandangan manusia, betapapun tesiratnya tentang yang “sungguh nyata” dan disposisi-disposisi yang ditimbulkan dalam diri mereka mewarnai pengertian mereka akan masuk akal yang praktis, yang manusiawi dan yang bersifat moral. Sejauh mana pandangan-pandangan itu mewarnai hal-hal itu ( karena dalam banyak masyarakat efek-efek agama tempaknya terbatas, dalam masyarakat-masyarakat lain menguasai segalanya), seberapa dalamya pandangan-pandangan itu mewarnai hal-hal itu (karena beberapa orang dan beberapa kelompok orang tampaknya memakai agama mereka seenaknya saja sejauh dunia seular berjalan, sementara yang lain-lainnya tampak menerpakan iman mereka pada setiap kesempatan, tak peduli betapapun sepelehnya); dan beberapa efektifnya pandangan-pandangan itu mewarnai hal-hal itu ( karena lebarnya jurang antara apa yang dikehendaki agama dan apa yang dinyatanya dilakukan seorang merupakan sesuatu yang bervariasi dari kebudayaan-kebudayaan) semua ini merupakan soal-sioal yang sangat penting dalam sosialogi komperatif dan psikologi agama. Bahkan taraf perkembaangan sistem-sistem religious itu semakin amat bervariasi, dan tidak semata-mata berdasarkan pada suatu basis evolusioner sederhana. Dalam satu masyarakat, taraf penjelasan rumusan-rumusan simbolis tentang kualitas akhir bisa mencapai taraf-taraf kompeksitas dan uraian sistematis yang luar biasa; dalam masyarakat-masyarakat lainnya yang secara tak kurang berkembangnya, perumusan-perumusan itu tetap tinggal primitive dalam arti sesungguhnya, hamper tidak lebih dari pada tumpukan-tumpukan kepercayaan-kepercayaan awal yang fragmentis dan gambaran-gambaran yang terisolasi, tentang refleks-refleks yang dikeramatkan dan piktograf-piktograf spiritual. Studi antropologis mengenai agama dengan demikian merupakan suatu operasi dua tahap. Pertama, suatu analisis atas sistem makna-makna yang terkandung di dalam symbol- simbol yang meliputi agama tertentu, dan kedua, mengaitkan sistem-sistem ini pada struktur sosial dan proses-proses psikologis. Daftar Pustaka: Alo Leliweri, 2003, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, LKIS, Yogyakarta. Anonim, 2004, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Deddy Mulyana, 2004, Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya, Remaja Rosda Karya, Bandung. Murtada Mutahari, 1998, Perspektif Al Qur’an Tentang Manusia dan Agama, Bandung, Mizan. Nurcholis Madjid, 2000, Islam Agama Peradaban, Jakarta, Paramadina. Koentjaraningrat, 1996, Pengantara Antropologi I, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta.

Thursday, April 26, 2012

MANAJEMEN PRESERVASI INFORMASI

There is really not much scope for aiding the preservation of paper by imposing a low relative humidity. A sheet of paper may be dried without catastrophic effect, but books react differently. They are made of different materials laminated together. As the relative humidity is lowered, these materials change their physical properties in different ways. Paper and leather will shrink and stiffen. Paper will shrink differently in different directions. Cloth, on the other hand, will expand in area as the relative humidity diminishes. Glue becomes extremely hard and brittle as it dries. These materials working againts one another cause book covers to warp. These effects are not yet documented by reliable published data. Apparently a relative humidity below about 35 per cent is rather risky. The upper limit for good conservation is set by the danger of mold growth at about 70 per cent RH. Within this range the deterioration rate of paper seems to vary by a factor of between 2 and 4. The damage done by handling dry and stiff, rather than damp and pliable, paper is very difficult to quantify. At high relative humidity the various materials continue to expand at different rates, but they are much more forgiving to each other and will creep and deform to reduce the stresses caused by movement. I believe that within the limits of 40-60 per cent relative humidity the choice should be controlled by the local climate and by the nature of the outer wall of the building, as I will explaind later. It is better to have a constant relative humidity within this range than to strive towards an ideal relative humidity which can only be obtained in some seasons of the year. Different parts of the building can have different levels of relative humidity. Buildings that are vulnerable to winter condensation should have offices around the perimeter in which a low relative humidity, down to 25 per cent perhaps, is maintained in winter, with the collection confined to an inner region with higher relative humidity. It is not advisable to move books from air at one relative humidity to another environment that is more than 5 per cent different in relative humidity because changing the equilibrium moisture content of a book is a very slow affair indeed. It takes weeks, rather than the hours needed for temperature equilibrium. If books have to be subjected to sudden changes of relative humidity because of the way the library operates, it is much better to have a rather high general level, around 60 per cent, because climate changes at high relative humidity are much less traumatic for the book. I strongly recommend a uniform relative humidity throughout the stack and reading area. The natural tendency of the air-conditioning systems, as of the outside world from hour to hour, is to operate at a constant dew point. This means that in a single duct system every room must be at the same temperature to be at the same relative humidity, unless special provision is made by installing a secondary humidifier in the branch duct leading to a room. This allows a room to be at a higher temperatur. Such local humidifiers are often inserted because the specification calls for very tight limits on relative humidity variation. These devices, so close to the room, can cause rapid oscillation of relative humidity about the set value, which is surely as harmful as an occasional slower wandering from the specified value. Such a local humidifier can cause trouble in another way : if the room humidistat calls for more humidity, the steam injector in the duct will add moisture. The dew point of the room air will increase and may exceed the temperature of the duct, which is carrying cool air. Condensation on the outer surface of the duct will drip into the room. It is important that the curator understand the consequences of setting close tolerances on the climatic variation allowed. A less onerous specification, combined with some of the passive climate control methods discussed later, may well give a more reliable total system. As a postscript to these separate discussions on the effects of temperature and of relative humidity, a comparison of the preservative effects of low temperature on the one hand and of low relative humidity on the other is of interest. The dew point attainable in a building is dependent on the technology of the device used to cool the air. Once a design dew point has been defined, one has a certain freedom in the choice of temperature, or of relative humidity, but not of both independently. For example, air at a temperature of 220C and 33 per cent RH has the same 50C dew point as air at 120C and 62 per cent RH. The damage done by the high temperature of the first set of conditions is offset by the preservative effect of the low relative humidity. It seems from the slender evidence available that the low temperature-high relative humidity alternative gives better preservation.[11] People have a great tolerance for low relative humidity with little tolerance for low temperature, while books have a great tolerance for low temperature with little tolerance for low relative humidity. For a design dew point of 50C a good compromise would be a room temperature of 180C with a relative himidity near 42 per cent. Cold storage vaults in the same building should be held slightly below 42 per cent RH, depending on the temperature, so the moisture content of the paper does not change when a book is withdrawn and warmed up to the reading room temperature. Effect of the Indoor Climate on the Building Envelope Let us turn now to the extremely important but rather neglected subject of the influence of atmospheric moisture on the building. [12] The problem can be simply stated, but not so easily solved. If the air inside the building has a higher dew point than the outside temperature, and if it diffuses or flows through the wall, then somewhere within the wall condensation will occur. The process is exactly tha same as condensation on windows, but since it is invisable, it is presumed not to happen, or at least not to matter. In fact, the window condensation is sometimes the less harmful event. Moisture in walls, and in roofs, can cause serious damage very quickly. Old buildings are vulnerable because they have no provision for preventing the diffusion of air through walls. New buildings are vulnerable because they are well insulated so that the interior surface of the outer skin of the wall is close to the outside temperature. The results of condensation can be increase corrosion of metal fastenings within the wall; movement of soluble salts, whose recrystallization physically disrupts the masonry; and frost damage from the expansion of ice lenses within the wall. In continental climates, these conditions pose a serious threat to buildings. Vapor barriers are cutomarily installed to prevent diffusion of water vapor through the wall. They seldom work as intended, because they are rarely installed carefully enough. The barrier must be airtight. If it is not, it will allow some air through to deposit dew in the wall, and then it will inhibit the free air circulation that would, in warmer weather, evaporate the water. Old buildings are generally not worth making airtight. A thorough survey can give reason for optimism, however. Thick, porous, salt-free masonry walls are not unduly vulnerable if they do not have iron cramps within them. Some old buildings faced with porous stone have an impermeable backing to the stones originally put there to prevent salt migration from brick work. I am not suggesting, therefore, that old buildings can never be humidified to counter the desiccating effect of warmed winter air, but it must be done cautiously, and after a through structural survey. One welcome side effect of running a building cool is that this danger of condensation in the walls is much reduced. Not only is the dew point lower, but the amount of water vapor carried by a given volume of air diminishes sharply with temperature so that the damage done by cool humid air diffusing out to a very cold outside wall surface is very much less than the damage done by warmer air diffusing out to a surface that is an equal number of degress below its dew point. As I mentioned before, air-conditioned buildings are customarily operated at a slightly raised pressure so that any leakage will be of conditioned air outwards rather than of raw outside air inwards. This pressure difference is designed into the system; it is seldom imposed by active measurement and control, although there is no reason why this cannot be done. It is advantageous to run a building which is an a cold climate and is humidified to more than 35 per cent in the winter at, or slightly below, atmospheric pressure. This procedure will not solve the condensation problem entirely, because it is quite possible for air to be entering the building from outside in one pleace, but for another part of the wall to be exposed to inside air. This phenomenon is very common in buildings with high open interior spaces such as domes. The warm, moist air within the building is less dense than the cold dry outside air and so it tends to rise, escaping from the roof while outside air enters down below. Another phenomenon operates in buildings with cavity walls. The general air flow may be inwards, but the air entering the wall will move sideways in the cavity towards fissures in the inner wall. Water vapor diffuses through the pores in the inner wall and crosses this cavity air stream diagonally to condense on the outer leaf of the wall. In summer a danger is the condensation of moist, warm outside air near the inner surface of the wall. This air may be moister than you might suppose from the local wcather report because an additional burden of water vapor can be coming from evaporation of water that has condensed during the winter. The evaporation rate increases dramatically at the high temperature reached within a sunny wall or roof on a warm day. This spring re-activation of water accumulated over the winter can produce spectacular flows of condensate. A building that is not airtight and is in a place with cold winters and hot summers should be operated at a positive pressure during the summer and at a negative pressure during the winter. This seasonal change in operating pressure of air-conditioning systems is never deliberately used, as far as I know, but it is undoubtedly helpful to the preservation of the building. I discovered this when modifications to the air-conditioning system of a museum building unexpectedly altered the direction of air flow and dramatically reduced the winter condensation within the walls. The relative humidity and temperature limits are thus set by the method of construction of the building and by its local climate. There is no easy way to predict the performance of an individual building., nor is it easy to measure the direction and vigor of air movement within the walls and roof. Buildings that are vulnerable to damage by condensation should have sensors buried in the walls and roof to record the state of the climate within the structure. Only a few studies have been published on this subject,[13] but the growing practice of humidifying museums and libraries, and modern trends in insulation for energy saving, no doubt combine to cause damage to buildings in cold climates. In continental climates the best argument for maintaining a low winter relative humidity is the preservation of the building rather than the preservation of the paper within it, although one must not forget the damage done by low relative humidity to furniture and panelling. In humid summer weather the burden of maintaining this constant low relative humidity becomes very expensive. It seems reasonable, therefore, to allow the relative humidity to change slowly through the seasons between limits that should not exceed 35-62 per cent. Books take a very long time to re-equilibrate to a different relative humidity and the stresses imposed by the transient uneven moisture content are not beneficial, so a very slow seasonal change should be imposed. Passive Climate Control We have no doubt that books should, if possible, be kept in a constant climate. Much can be done, however, to safeguard collections without the benefit of the mechanical and electronic systems that I have described. Fortunately, books and documents are rather easy to care for in less than ideal climates. The first basic principle is to put them in a set of nearly airtight and close-fitting enclosures. The second principle is to prevent rapid temperature change around the collection. The effect of enclosure, apart from its obvious role in excluding dust, needs some explanation. The physical properties of paper, such as its dimensions and its stiffness, depend on the moisture content, which is usually around 6 per cent. This water is loosely bound and will be lost to surrounding air of low relative humidity. More water will be absorbed if the surrounding air has a high relative humidity. If the air surrounding the book is isolated from the rest of the atmosphere and if this air volume is kept small compared with the volume of the book, then this exchange of water will be very small, because, although the relative humidity of an isolated volume of air will change with temperature, the amount of water that has to move from book to air, or the other way, to maintain the equilibrium is entirely negligible. The book regulates the moisture in the air trapped around it.[14] Some complicated movements of water can occur on a small scale if a temperature gradient exists across the enclosure. Good thermal buffering is important and can be achieved by insulation, by close stacking of the books, by massive contruction of the building, and by keepng the book stacks away from outside walls, or the walls of furnace rooms. A slow change in air temperature that causes no steep temperature gradients around a book does no harm. A sudden upward temperature change is not too damaging either. If a book in a container is suddenly cooled, condensation will occur when the walls of the container drop below the dew point of the air within. The book will release to the air more water vapor to compensate for that lost, and a rather large amount of water will condense and drip on the book or flood the bottom of the enclosure. From there it will re-evaporate, setting up a cyclic process that will stain the book. This effect is well demonstrated by the glass-fronted boxes fixed to the walls of restaurants. If the menu is not changed frequently in winter, the passing gourmet will soon notice a stain creeping upward past the dessert list. A very similar affliction can damage books in cases againts uninsulated outer walls. The cold of a winter night can cool the back of case, while the books remain warm because the glass front readily transmits the heat of the room. The books maintain the relative humidity of the air in the container. This condition is normally a virtue, but now it becomes a source of danger, as the condensed water dribbles invisibly down the back of the bookcase. Less dramatically, but more often, the relative humidity close to the cold back will only rise to some value above 70 per cent, which allows dormant fungal spores and filaments to become active. It is dangerous to allow the temperature of any part of a book stack to fall much below the temperature of the main body of air in the room because a roomful of air quickly achieves a uniform moisture content by convective mixing. If the temperature differs from place to place, the relative humidity must vary also. Cold walls have a boundary layer of cold air close to them which does not so readily mix into the general air circulation in the room. If water is rissing in the wall, or penetrating through a porous wall, the moisture content of the air may locally be high. The two independent effects combine to give a dangerously high local relative humidity. The intermediate technology solution to this situation is to scour away the boundary layer with a draft from a fan. The permanent solution is to put insulation on the wall and cover this with an impermeable membrane. If the average climate outside the library is within the limits set for good conservation, that is, less than 25oC and between 40 per cent and 65 per cent RH, then no great harm will come to collections that are not air-conditioned. Some seasons of the year, however, may be beyond these limits. The buffering capacity of the passive climate control measure described above may be exceeded, and the climate within the containers will drift towards a dangerous condition.[15] Air-conditioning, even of a simple kind, then becontes essential. It may be that small free-standing humidifiers or dehumidifiers will cope with these brief seasonal periods of danger. Much can also be done by adjusting the environment near the building. Pale paint reduces heat gain in the sun. trees will do the same, eventually. Grass surroundings will reflect less solar energy onto the façade than will a marble concourse. The adjustment of the microenvironment, which is one of the more enjoyable fantasies of the ecological movement, can tip the balance for buildings that are not in extreme climates. For libraries not yet built, we can rethink the whole concept of library design. On the whole, the custom of building massive, prestigous shrines to learning has served the cause of conservation well. Their natural temperature stability leads to good relative humidity stability because the daily fluctuation in atmospheric relative humidity is mainly caused by the daily temperature cycle. The moisture content of the air changes less often since it is controlled mainly by the direction of origin of the air mass that covers the region. More radical solutions are available, however, such as partial, or nearly complete, burial of the building. Existing buildings can be adjusted, for example, by installing a ventilated attic space to reduce heat conduction through the roof and to prevent roof condensation in a humidified building. Finally, in this varied collection of measures to modify the indoor climate, one should not neglect the pleasure that can be obtained from air-conditioning devices. An ornamental fountain in the lobby can be used to humidify, or to dehumidify the air, according to the water temperature. Air Pollution Originating within the Building Much has been written lately on the subject of air pollution generated indoors.[16] In libraries the important pollutants are formaldehyde, formic acid, and acetic acid emitted by wood, particularly plywood and particle board. Some humidifiers release gases into the air, such as diethylaminoethanol, which are used to inhibit the corrosion of steam pipes. This chemical is a hygroscopic alkaline vapor which probably reacts with the acid pollutants in air to form nonvolatile salts, which precipitate as a slimy film on surfaces. One unusual hazard in libraries is the oxides of nitrogen released by the pyroxylin cloth used to cover books. Damaging chemicals are also released within books, but climate control cannot cure this problem because the molecule will react long before if can diffuse out from the book. We are concerned, therefore, about chemicals that emerge from the container and from the outside surface of the book. Wood should really not be used in libraries, but, of course, it will continue to be used and to survive, so the collection must be protected against its outgassing. Various techniques can be used, depending on the circumstances, fierce ventilation is the traditional, but not now popular, method. Some research is in progress on the efficiency of various surface coatings. Until results of these studies are released, a layer of aluminium foil is recommended as an impermeable barrier, or a layer of paper impregnated with calcium carbonate, which will react with the mainly acid gases emitted from wood. This paper should also catalyze the transformation of formaldehyde into formic acid and then react with the product, but research has not yet demonstrated that this reaction actually takes place. If the container is lined with foil or alkaline paper in this way, it seems that tight containment of books presents less danger than exposing them to the room air. It certainly ensures a constant climate. For those who are not convinced by these arguments, even a permeable container such as an ordinary envelope slows down fluctuations in relative humidity, reacts with pollutants, and gives useful protection to the contents. Conclusion The influences on paper storage of climate, building methods, air-conditioning technology, pollution chemistry, and reader comfort are varied and interwined. In such a complicated environment reliance on an arbitrary set of standards can lead to great expense and ultimate failure if the standards prove impossible to realize in a particular geographical and social environment. Each institution must be regarded as a unique system for which a unique compromise must be developed by intelligent study. A knowledge of the principles which underline the standards and codes of practice that have been developed over the years is essential. Notes 1. A good general text on the effects of climate on historic materials is : Thomson, G. The museum environment. London : Butterworth, 1986. 2. The standard reference text for air-conditioning design in North America is the series of handbooks produced by the American Society of Heating, Ventilating and Air Conditioning Engineers, of Atlanta, Georgia, USA. In particular the Handbook of Fundamentals covers many of the subjects discussed in this article. 3. A standard work on the interaction of cellulosic material and water is : Hearle, J.W.S., and Peters, R.H. Moisture in textiles. New York: Textile Book Publishers, 1960. 4. A useful introduction to air-conditioning technology is : Shuttleworth, R. Mechanical and electrical systems for construction. New York : McGraw-Hill, 1983. 5. Methods of pollution control are discussed in : Mathey, R.G., Faison, T.K., and Silberstein, S., Air quality criteria for storage of paper-based archival records. NBSIR-83-2795. Washington : National Bureau of Standards, 1983. See also : Padfield, T., Erhardt, D., and Hopwood, W. 'Trouble in store'. In International Institute for Conservation of Historic and Artistic Works. Science and Technology in the Service of Conservation, Preprints of the Contributions to the Washington Congress, 3-9 September 1982. London : International Institute for Conservation of Historic and Artistic Works, c1982, 24-27; Indoor pollutants. Washington, D.C.: National Academy Press, 1981. 6. Relative humidity measurement is reviewed in : Moisture and humidity 1985. Research Triangle Park, North Carolina : Instument Society of America, 1985. 7. The N.B.S. report, reference 5, proposes three grades of storage : 18oC-24oC and 40-45 per cent RH for immediately accessible books, 10oC-13oC and 35 per cent RH for less frequently used materials, and -29oC for cold storage. An American National Standard, Z39.54-198X, is currently being prepared. A committee of the U.S. National Academy of Sciences is also deliberating on the subject. There is a British Standard, BS 5454:1977, Recommendations for the Storage and Exhibition of Archival Documents. 8. Graminski, E.L., Parks, E.J., and Toth, E.H. ' The effects of temperature and moisture on the accelerated aging of paper'. In Durability of macromoleculer materials. Washington, D.C.: American Chemical Society, 1979, 341-355. (ACS Symposium series no.95) 9. Nanassy, A.J. 'Temperature dependence of NMR measurement on moisture in wood'. Wood science, October 1978, 11(86). 10. Graminski, Parks and Toth, op.cit. 11. Ibid 12. See the ASHRAE Handbook of fundamentals (reference 2) and also Lieff, M., Trechsel, H.R. Moisture migration in buildings. American Society for Testing and Materials, 1982. (special Publication779) 13. Moisture and humidity 1985, op.cit. ; ASHRAE Handbook of fundamentals, op.cit. ; Lief and Trechsel, op.cit. 14. Padfield, T., Burke, M.,and Erhardt, D.A. cooled display case for George Washington's Commision'. In International Council of Museums, 7th Triennial Meeting, Copenhagen, 10-14 September, 1984. Preprints. France : ICOM, 1984. 15. Thomson, op.cit. 16. Padfield, T., Erhardt, D., and Hopwood, W. 'Trouble in store'. In International Institute for Conservation of Historic and Artistic Works. Science and Technology in the Service of Conservation. Preprints of the Contributions to the Washington Congress, 3-9 September 1982. London : International Institute for Conservation of Historic and Artistic Works, c1982, 24-27; Indoor pollutants. Washington, D.C.: National Academy Press, 1981. Selections from Parker, T.A. 'Integrated Pest Management for Libraries,' in Preservation of Library Materials : Conference Held at the National Library of Austria, Vienna, April 7-10, 1986, edited by Merrily Smith. IFLA Publications 40-41. Munchen :K.G. Saur, 1987), Vol.2, pp.103-123.[1] This paper was first published in Preservation of Library Materials, IFLA Publications 40-41 and has been republished with the permission of IFLA. Some material is omitted. The reader should refer to the original for illustrations and description of carpet beetles, cigarette beetles, drugstore beetles and psocids and for information about methods to control these pests. Also omitted is materials about some fumigation techniques. Abstract A library is, in effect, a concentration of foodstuffs for the common pests-insects, rodents, and mold-that attack the collection. The best control of pests is furnished by an integrated pest program, i.e., the use of a combination of control techniques. Insect damage to library materials is caused primarily by cockroaches (mainly the American, Oriental, and Australian cockroaches); silverfish (thirteen species are known in the Unitd States); carpet beetles (the larvae of several species are damaging); cigarette beetles (the most common pest of herbarium collections); the drugstore beetle (sometimes called a 'bookworm'); and psocids, or book lice. The common rodent found in libraries, particularly in subtropical and tropical climates. All of these infestations can be dealt with by the concerted use of various techniques, including external precautions to buildings, insect traps, the use of insecticides and other chemicals, control of moisture, cleanliness measures, limited heat treatment of infested materials, and continual inspection for evidence of infestations. Fumigation of library materials may be warranted in some instances, but is rarely necessary. A continual awareness of potential problems and immediate treatment are essential. Man has come to realize that to one approach to pest prevention and control will suffice. Instead a combination of techniques is usually required to maximize the effectiveness of any pest control program. The term 'integrated pest management' (IPM) has been coined to embody this concept : that all pest control programs must rely on several approaches working in concert to effect the desired result. An IPM approach must be considered when addressing the problems of pests in libraries. A library, where books, printed materials, manuscripts, maps, prints, photographs, and archival materials are stored, perused, and exhibited is not unlike the setting in agriculture where huge quantities of foodstuffs are stored for long periods of time. The library is a concentration of foodstuffs, including starches, cellulose, and proteins, which forms a banquet for insects, rodents, and mold. In addition, the environment in which these foodstuffs are stored is indoors, protected from extremes of harsh climates. Populations of insects specific to this micro-environment can easily explode and cause serious damage if IPM approaches are not utilized fully to prevent such an occurrence… The most common pests encountered in libraries are insects, rodents, and mold. Each of these problems will be reviewed, and the IPM approaches necessary for their control and prevention will be outlined. Insects Damage to library materials from insects is primarily caused by cockroaches, silverfish, various beetles, and book lice. Damage to these materials results when insects use them as a food source. Both immature and adult stages of cokroaches, silverfish, and book lice cause feeding damage on library materials. In the case of beetles, it is primarily the larval stage that is responsible for the feeding damage. The larvae chew their way through a book, ingest the material, and leave a tunnel filled with powdered excrement. Once the larvae have completed their development, they pupate, and the adult beetles emerge by chewing their way out. Small round exit holes are left in the book. Cockroaches Substantial damage to library materials can be attributed to various large species of cockroaches. These problems are more prevalent in the subtropical and tropical areas of the world, but damage can also be found in temperate climates. Three cockroaches in particular are notable for the damage they do to library materials. They are the American cockroach, Periplaneta americana (Linn.); the Oriental cockroach, Blatta orientalis (Linn.); and the Australian cockroach, Periplaneta australasiae (Fabr.). These cockroaches have large, strong, chewing mouth parts, prefer starchy materials, and can easily destroy paper, paper products, bindings, and other coverings on books and pamphlets. Chewing damage is generally recognized by smears of fecal material in association with the damage and a ragged appearance to the areas that have been fed upon. These areas generally appear around the edges of the piece where small bits of paper have been removed and eaten. Sometimes pelletized droppings are also found in association with the feeding, particularly with the American cockroach…. The large species of cockroaches can be controlled by the following IPM measure. 1. Installation of a gravel 6-fot barrier around the perimeter of the library to prevent ingress from outdoors 2. Elimination of all vines and ivy from the building. 3. Installation of proper screening on all windows and doors. 4. Installation of exterior lights away from the building so they will shine on the building from a distance rather than fastening them to the building so that insects are attracted to the exterior walls during the night. 5. Removal of all debris, leaves, and twigs around the exterior of the library as well as cleaning out debris from gutters on the roof of the building. 6. Elimination of cockroach harborages and entries by caulking and sealing. 7. Installation of sticky glueboards that will trap insects on their nightly forays around the library. These insects traps can be installed in false ceilings, basement, elevator shaftways, and closets so they intercept insects as they travel looking for food. 8. Whenever insect infestations are found, a common attempt at their control is by insecticidal treatments with an aerosol or fog. Insecticidal fogs or aerosols should never be used in any collection. Such formulations are normally oil-based. During application, small droplets of the oil/insecticide mixture are dispended into the air, eventually settling on the entire collection. This kind of treatment irreversibly damages the collection. 9. The use of insect baits, such as 2 per cent Baygon Cokroach Bait, applied sparingly to quiet zones of the interior of the library. This bait, which looks like sawdust, is bran mixed with molasses and contains 2 per cent Baygon. This bait is a favorite of large cockroaches and will easily bring populations into control. 10. Perimeter fan spraying with residual insecticides, paying particular attention to those areas adjacent to pipe chases, elevator shafts, storage areas, and mechanical rooms. 11. In the case of the American and Australian cockroaches, perimeter, exterior power-spraying of the walls and overhangs may be required. 12. Installation of thresholds and rubber flaps on exterior doors to prevent ingress by cockroaches from the exterior, particularly at night. 13. the used of steel wool in holes and openings leading from drainage and sewer systems to prevent cockroach ingress. Silverfish Silverfish…are one of most common pests of libraries. All have weak, chewing-type mouth parts and tend to feed on products high in carbohydrates (starch) and proteins. Such materials as paper, paper sizing, prints, glue and paste, wallpaper, and drywall are favorites of silverfish. Damage from the feeding of silverfish can be recognized by certain areas that have been eaten all the way through and other areas that have only partially been eaten through. Silverfish tend to rasp their way slowly through a piece of paper, and it is this damage that is seen on library materials and prints. Silverfish will roam widely in search of foods, but once they have found a satisfactory source, they remain close to it. There are many species of silverfish in the world; thirteen are known from the United States. Some prefer cool, moist environments, others warm and moist environments. They are small, tapered, wingless insects with long antennae and three long bristles protruding from their posterior end. They are nocturnal, resting in cracks and crevices during the daytime. When exposed to light, they move quickly to avoid it. Silverfish are particularly fond of paper with a glaze on it. Often sizing, which may consist of starch, dextrin, casein, gum, and glue, is particularly attacked. Certain dyes are attractive to silverfish. Studies have shown that papers consisting of pure chemical pulp are more likely to be attacked than those consisting in part of mechanical pulp. In general, papers and books in regular use are not damage by silverfish. Silverfish are also particularly fond of rayon and cellophane. In temperate climates, silverfish tend to migrate vertically depending on the season of the year. In the hot months of summer, silverfish will migrate down into the cooler, more moist portions of the building, and in the fall and winter they will tend to migrate to attics and higher levels. Drying out a building with heat in the winter time will help to reduce silverfish populations. The heat also eliminates the microscopic mold that grows on plaster walls and drywall providing a food source for silverfish. In cool, moist basements, and commonly in poured-concrete buildings, silverfish are a year-round problem. It is impossible to eliminate bringing silverfish into a library. Silverfish are a very common problem in cardboard box and drywall manufacturing facilities silverfish lay eggs in the corrugations of cardboard boxes, one of their favorite areas for egg deposition. With every cardboard box coming into a library, a new load of silverfish and their eggs is bound to arrive. Upon hatching, silverfish go through many molts throughout their lifetime and have a long life span. Control and prevention of silverfish damage to library materials can be effected in a variety of ways. 1. Thorough vacuuming of the perimeters of rooms where silverfish like to hide underneath the toe moldings and baseboards during the daytime. 2. The use of insect sticky traps or glueboards in those areas where silverfish seem to be a problem. Each night, when silverfish are active, they will be trapped on the glueboards. 3. In cabinet storage situations, the use of silica gel in a finely powdered form in the void space beneath the bottom shelf or drawer of a cabinet. Sometimes the use of a 1/4-inch drill is necessary to gain access to apply this dust into the voids beneath the cabinets. Silica gel is a desiccant and kills silverfish by drying them out. By placing silica gel powder (sometimes in combination with pyrethrum insecticide) beneath the cabinets, there is virtually no way a silverfish can crawl up into the cabinet without encountering the silica gel thus being repelled or killed. 4. In some instances, particularly in manuscript, rare book, and print collections, the use of insecticide resin strips may be used in enclosed spaces. Insecticide resin strips contain the insecticide Vapona (DDVP). This material volatilizes from the resin strip and fills a confined space with molecules of insecticide. It is a mild fumigant and in time will kill all stages of insects within the enclosed space. The normal rate of application of these strips is one strip per thousand cubic feet of enclosed space.[12] This type of chemical application is for enclosed spaces only, such as cabinets, vaults, and small storage rooms, and is not designed to be used in open, public spaces or where ventilation would carry the fumes out of the space. 5. Application of residual, liquid insecticidal sprays to perimeters of rooms and at the base of all stack shelving areas, paying particular attention to that crevice where the floor meets the wall, baseboards, and shelving. 6. The application of insecticidal dusts, such as a silica gel/pyrethrum combination, to voids where pipes enter wails and penetrate floors and in wall voids. In warmer parts of the world, construction engineers sometimes inject powdered silica gel in wall voids during construction of a building. This practice eliminates insect harborages. 7. Crack and crevice injection of small spot applications of liquid insecticides to the backs of cabinets where they are attached to walls. 8. The control and elimination of moisture such as leaky plumbing, around laundry areas, in bathrooms, and workrooms where a silverfish population can thrive because of the high moisture situation. 9. Reduction of potential sites of harborage by the use of caulking compounds and patching plasters…. Rodents The most common rodent found in libraries is the House Mouse, Mus musculus….This species seems to be able to invade practically any structure man has made. Damage to library materials comes from mice destroying materials for nesting purposes, and urinating and defecating on library materials. Populations of mice can build up very quickly, and when they die, their carcasses act as a source of food for carpet beetles. In addition to damaging collections directly, mice may chew the insulation off electrical wires, causing them to short and start a fire. House mice are secretive and are generally active at night. They live in a territory with a small home range. The average distance that a mouse travels in its activities is 12 feet. Male mice are highly territorial, and for this reason control measures must be designed for specific areas where mouse droppings re found. Glueboards and traps should be set in these areas. House mice live outdoors year around, but will invade buildings, particularly in the fall of the year in temperate climates…. Mice feed on a variety of foods provided by man. They also feed on dead insects found indoors. Mice have been found to be cannibalistic. They apparently do not need free water to drink, but will consume it if it is available. Mice feeding on high protein diets must supplement their diets with free liquid. During their nocturnal activity, mice leave fecal droppings wherever they have been active. Other signs of mouse infestation are gnaw marks; small, stained holes in floors and walls, and beneath doors; and a pungent odor from their urine. Mouse control in a library is important and should be dealt with in the following ways. 1. Seal the building on the exterior as tightly as possible with steel wool and caulking compounds. 2. Never use a toxic baiting program for mice on the interior of a library. The mice will die in the walls, floors, and ceilings, and provide food for carpet beetles. 3. Use mechanical control techniques for mouse control. Snap traps baited with cotton balls or peanut butter can be used to trap mice. Multiple-catch live traps are available on the market, such as the 'Ketch-all' trap. These are capable of catching more than one mouse at a time without the use of bait, relying on the innate curiosity of the mouse. Glueboards can also be used to trap mice. Soon after they are trapped they will die, and the trap or glue board can be discarded. 4. A thorough inspection of the building with a flashlight on a periodic basis is important to identify those areas where mice activity is present. The presence of droppings is a clear indication that control measures should be undertaken in that exact spot. Two or three weeks after a control program has been instituted, remove all droppings so the progress of the trapping program can be determined. 5. In temperate regions, in late summer and early fall, trapping programs should be instituted so they will be in place when the mice naturally tend to invade structures. 6. Sonic devices aimed at rodent elimination are of questionable value in most library mouse control programs. Mold and Mildew One large problem in libraries, particularly in subtropical and tropical climates, is the presence of mold on libraray materials. Mold results from spores landing on a substrate that has the correct temperature and surrounding humidity to initiate germination of the spores. When the spores germinate, they put out fine strands of mycelia, which invade the subsrate, utilizing it as a food source. The mold mycelia exude liquids that dissolve the substrate, and this food is then used in the production of more mycelia and eventually millions of spores. In order for this scenario to take place on paper products, books, and other library materials, prolonged periods of high humidity are required for mold growth. If the environment of a library is held at a temperature of from 680F to 720F and a relative humidity of 50 per cent to 60 per cent, mold will not be seen. This is not to say that some spores will not germinate. It simply means that after germinating, the mycelia will not have conditions suitable for growth and will die before being visible to the naked eye. When the relative humidity of the environment remains in the 60 per cent to 70 per cent range, certain kinds of mold spores will germinate, but most will be unable to maintain my celial growth and will collapse. This higher humidity range is not as 'safe' for paper products, because there will tend to be micro-environments in the library where humidities will peak higher than the overall relative humidity for the entire structure and may create conditions conducive to localized mold growth. Of course, higher temperatures under these higher humidities will also enhance the possibility of localized mold growth on library materials. When the relative humidity of a library exceeds 75 per cent and remains in this range for a period of time, serious mold problems will result on library materials. Even if temperatures are low, the effects of the high humidity will stimulate spores to germinate en masse. Not only will spores germinate, but growth of the resultant mycelia will be quick and unabated. In as short a time as thirty-six hours, mycelial mats will begin to appear on the materials and spread outward. Soon the center of the mat will begin to appear dark, generating millions of spores. The key to long-term mold control, then, is to manage the moisture in the air of the library and stacks in a manner that will minimize periods of high humidity. Each cubic foot of air contains thousands of mold spores which land on surfaces and objects in the library every day. Attempts to control mold on library materials by using various chemicals therefore are usually ineffective. Chemicals such as thymol, ortho phenylphenol (OPP), alcohol, and diluted bleach solutions kill some of the mold spores on the surface as well as some of the mycelia. As soon as these chemicals have volatilized from the surface, the object is vulnerable to new mold spores landing on the surface. If the conditions are correct, germination and production of more mold will result. These types of chemicals do not impart residual control for mold or the mold spores. Similarly, fumigation with poisonous gases in a chamber does not impart any residual mold control effects. Much of the fumigation that is done in libraries is not warranted. Changing the environment that produced the conditions suitable for mold growth in the first place is the only truly effective means of retarding and eliminating mold growth. If a spore lands on a substrate that is not suitable for growth, in time the spore will desiccate and die. As long as the conditions of the substrate and surrounding micro-environment are not suitable for spore germination, the spores will not germinate and mold will never appear. Some considerations in handling mold and mildew in libraries follow. 1. An air handling system should be installed that will lower the humidity in the air and then reheat the air to desired levels. This system should be designed to handle incoming outside air as well as recirculated air. Such systems must be carefully thought out and must be large enough to accept incoming loads with humidity levels of the exterior air as well as the amount of moisture contained in the interior air. The aim is to maintain an interior environment in the library of from 50 to 60 per cent relative humidity and 680 to 720F at all times. 2. If such air handling systems are not available or cannot be installed, fans can be used to keep the air moving, particularly near outside walls and close to floor levels, in an attempt to lower moisture content of library materials. 3. Waterproofing basements and walls below grade on the exterior to prevent moisture from wicking through the walls and into the interior will aid keeping humidity levels down inside the building. 4. Earthen floors in basements and sub-basements should be sealed with concrete to prevent moisture from wicking up into the building. At the very least, earthen floors should be covered with 4-6 mil polyethylene film to lessen the amount of moisture being volatilized into the interior air. 5. Water-sealant paints can be applied to floors and walls to prevent ingress of moisture into the interior of the building. 6. Attick vents and fans can be installed to pull air through buildings that have no air handling systems and where tropical climates require windows to be opened throughout the year. With such installations air can at least be kept moving throughout the building. 7. Open trenches and drains in mechanical rooms and areas adjacent to stack areas should be covered to prevent evaporation of liquid into the interior space. 8. Expcept for drinking fountains, interior fountains or waterfalls should not be permitted in a library. 9. Do not allow indoor planted areas in a library. Keep ornamental and hanging plants to a minimum to reduce the amount of water released into the interior air. 10. Heavy mold infestations resulting from flooding, water damage, leaks, and fires is an entirely separate topic and cannot be dealt with within the scope of this paper. 11. Regular inspection of the collections with a flashlight to pinpoint trouble areas is a necessity. Localized infestations of mold can be temporarily arrested with topical applications of chemicals until other modifications can be made. 12. Thymol is commonly used as a temporary mold-control chemical on books, paper, and other library materials. The use of thymol, either as a mist or spray, or as a fumigant volatilized by heat, does not impart residual mold control to the library materials. Thymol will kill some species of mold spores and mycelia upon contact. Taking the materials out of the atmosphere of thymol will leave them vulnerable to mold spore deposition and possible germination. In the United States, thymol is not registered as a mold-control chemical with the Environmental Protection Agency…. Fumigation Fumigation of library materials with extremely toxic chemicals is rarely necessary. It may be warranted when dealing with bookworms, but fumigation is generally not warranted when dealing with mold and mildew problems. Historically, the library community has used ethylene oxide in fumigation chambers for mold and mildew control on incoming library materials. As was stressed in the section on mold, fumigation will not control mold and mildew if the library materials are placed back into the same conditions from which they came. In most instances library materials that have been fumigated are then stored in areas which do not have an environment conducive to mold growth. The success of the fumigation is given as a reason for the control of the mold and mildew, when, in fact, the new area in which the materials are stored is the governing factor in the mold and mildew control. Ethylene oxide, either in combination with Freon or carbon dioxide, has been found to be a carcinogenic material. In the United States a chamber may have no more than 1 part per million (ppm) of ethylene oxide left after the aeration and before the materials can be removed safely. One of the major problems with ethylene oxide is that very few chambers in the world meet this requirement. Any fumigation chamber relying on an air wash systems to aerate the goods after a fumigation has been completed usually will not reach levels of 1 ppm or below at the end of the air wash cycles…. Ethylene oxide is soluble in oils, fats, and lipids, making leather-bound books retain ethylene oxide for long periods of time after fumigation. After bringing books out of a chamber, they will volatilize ethylene oxide into the air for varying periods of time up to and exceeding three months. It is therefore critical that the managers of major libraries test in-house chambers and study fumigation policies and procedures to determine if they are meeting current requirements. Most will find that fumigation chamber modifications and procedural changes are required to meet current standards. Other fumigants, such as methyl bromide, hydrogen sulfide, and some of the liquid fumigants, are not generally acceptable for library materials for several reasons. Methyl bromide sometimes chemically reacts with materials high in sulfur. If this chemical reaction were to take place, mercaptans would be formed and would create an irreversible, foul-smelling odor. Hydrogen sulfide is explosive and dangerous to use. Some of the liquid fumigants have been found to be carcinogenic. Recently in the United States, Vikane (sulfuryl fluoride), manufactured by Dow Chemical Company, has been registered for use in chambers as a fumigant. As with all fumigants, this material does not impart any residual control, but can effectively penetrate dense materials, such as library materials, and will kill all stages of insects. One problem with Vikane is that it is a poor ovicide, and therefore dosages must be increased in order to penetrate the eggs of certain species of insects. To date, this material has been found to be very nonreactive with materials and is commonly used as a structural fumigant in wood-destroying insect control. Its use to control mold spores and mycelia remains in debate. Conclusion As is true with all museum materials, one cannot delay treatment until insects, rodents, and mold have turned the library collections into a food source. We must be keenly aware of what is happening in our collections and structures. We must anticipate the types of problems unique to libraries and provide an integrated pest management plan to deal immediately with those problems present and to prevent others from arising. In this way, we will establish the most common sense approaches to pest prevention and control with the least impact on our environment and ourselves from toxic chemicals. Notes 1. Dr Parker, an entomologist, is a consultant to museums, historic properties and libraries, specializing in IPM approaches. He is President of Pest Control Services, Inc., 14 East Stratford Avenue, Landsdowne, Pennsylvania, USA, 19050. Telephone (215) 284-6249. 2. The No-Pest Strip is the only dry strip available on the market today. It is available through Kenco Chemical Company, PO Box 6246, Jacksonville, Florida, USA. 32236. Telephone (800) 523-3685. Jackson, Marie. 'Library Security : Facts and Figures.' Library Association Record 93, 6 (June 1991) : 380, 382, 384. First published in Library Association Record 93 (6) June 1991 and reproduced by permission of the author and the Library Association We still do not know enough about the extent of theft in libraries. Statistics are very often estimated losses; some members of the public do not even see 'keeping their books' as a crime. Marie Jackson, National Preservation Officer, pulls together what facts we do have, recounts some horror stories and calls for more research. Given that a fact is 'anything known to have happened or to be true' everyone knows the basic facts of library security. They are : 1. Librarians, if they are fulfilling their task correctly, cannot completely safeguard their collections against theft or abuse; 2. Incidences or theft, non-return and mutilation of library stock are on the increase; 3. Library budgets can no longer (if they ever could) afford the consequences of widespread abuse. It's the figures that are more of a problem and, of course, we are part of a culture which tries to prove with figures what our heads, hearts and eyes tell us is true. We lack firm, proven figures on how many books go missing from libraries in the UK. You have only to look at the NPO (National Preservation Office) bibliography Library Security to see how little published material on library security there is from this side of the Atlantic. A search of LISA, from 1969-87, revealed only 10 British articles. Published figures on book loss are an even greater rarity. What figures are available from libraries on both sides of the Atlantic? Two statistics to start with : in 1894 1 per cent of the population in England used public libraries. At a 1908 conference of the American Library Association, Isabel Ely Lord, Librarian of the Pratt Institute Free Library in Brooklyn, quoted losses in US open-shelf libraries of between seven and thirty-nine books in every 10,000 books circulated. That's a loss rate of 0,3 per cent maximum. From this point on, with massive popularising of the library and huge increases in the number of books held, the modern age takes over. Imagine counting losses for Brooklyn in hundreds these days. Let's not make the mistake, though, of thinking that only twentieth-century man misbehaves in libraries. Chained libraries were there for a reason. The Reverend Charles Burney, the classical scholar whose rare book collection is now revered by British Library users, was expelled from Cambridge after stealing books from the library. It was the Bedmaker who found the proof : 35 classical books in a dark corner which had the University arms removed. If we had firm reason to believe wrong of our users and were allowed to look under beds it might be easier. Before we get near to proving who did it we have to know that something has been done. It is generally true that the statistics that have been gathered on missing books, etc, are estimated losses. They are not the result of detailed shelf and user surveys. Surveys, or inventories, are generally a thing of the past. The reasons are obvious. One of the most detailed UK investigations of publik library abuse was undertaken by CLAIM (the Centre for Library and Information Management) in July and August 1984. a questionnaire to 300 public libraries asked for answers on some 100 issues in all, including incidents of book theft and mutilation. There is no reason to believe that the libraries answering (and 209 did) conducted detailed surveys of the books missing from their shelves. They simply estimated. Eighty-five per cent reported at least one episode of intentional book damage. Forty per cent reported 'chronic' theft of reference material (but 'chronic' for this report, was defined as 'more than six episodes'). Fifty-seven per cent had experienced at least one episode of theft of personal property. 'It is the unusual library that is completely free of crime' the report concludes.[1] An earlier report relevant to academic libraries is the 'Survey of college libraries in the UK 1970' which was published in Library and Information Bulletin, no 15, 1971. this survey, again by questionnaire, convered the whole gamut of college library life, from librarians' qualifications to preservation techniques. Security of collections got only two questions : 'What book losses do you suffer?' and 'What steps do you take to prevent book losses?' The average of actual book loss reported was 2.6 per cent, the estimate 3.09 per cent. Lots of librarians wrote things like 'minimal loss', and 'agreeably small'. '£200 loss of stock each year'. The conclusion of the report is : 'It would appear that the average is reliable but that any individual library would be found to experience losses in a wide bracket; from 0.1 per cent to 10 per cent of actual open shelf stack, though this might vary within the one library from year to year.' The reported methods used to prevent book loss had a top three of :  Continuous manning;  Cases in cloakroom;  Coats in cloakroom. Don Revill wrote an article for New Library World in April 1978 [2] about book loss in academic libraries. In this he says : 'The proportions of the book stock "lost" per annum generally suggest a national average of one per cent. 2.6 per cent was reported for college libraries in the UK by the LA survey of 1970. My own libraries have suffered losses between five and six per cent.' There are all sorts of reasons why estimates of books missing from shelves are not sufficient for a book loss survey. Mis-shelving catalogue or computer error, books on librarins' desks with no record to accompany the 'loan'. They all play a part. A particularly impressive survey was carried out in Long Beach (California) Public Library and Information Center between August 1987and February 1989. Its findings are presented in Library and Archival Security, Vol 10 No.1, 1990. The methodology employed is interesting. Two computer lists were generated – one for books that had not circulated between 1981 and 1987 and one for books that had not been checked out between 1987 and 1988. Two thousand four hundred and fifty-six items which should have been on the shelf were found to be missing. This was 23 per cent of stock. Where were these books ? The possibilities were : 1. a flaw in the security system. Tests on the 3M system were carried out and other libraries were canvassed about their experiences with similar security systems; 2. this particular library had changed its computer. Could some books have been 'lost in the system' during transfer?; 3. human error; mis-shelving and processing; 4. the books had been stolen by (a) patrons, (b) staff. To find the answers, an inventory which included full shelf checking, research in storage and other areas and tests on human error rate in processing was carried out. Patterns were looked for and other libraries canvassed. After all other errors were accounted for (and human error was high), a true loss rate of 8 per cent was reached. As a final corroboration of this figure, staff undertook a survey of the literature on book losses to see how their 8 per cent matched up. They found quoted a loss rate as high as 14 per cent among new titles, a genuine drop in theft after installation in security equipment, that no systems eliminated all loss and that 8 per cent seemed to be a common loss rate. It is interesting that their loss of books from the popular author lists (and remember this is a public library) was as high as 63 per cent though some of this loss was though to be explained by some books having literally been read o pieces, discarded but not noted as discarded. And the four most popular authors in Long Beach? Jackie Collins, Joseph Conrad, William Faulkner and Stephen King. Back to UK figures. In his book Preventing Library Book Theft [3] Herbert Keele quotes (sometimes anonymously) the results of some studies done in various libraries on loss rates. These studies were generally carried out in libraries which had no electronic security system. Indeed, the purpose of the review was often to argue for such a system. In the Metropolitan Borough of Knowsley, a 9 per cent loss rate in four unprotected libraries was noted in 1979. In a large city, four suburban libraries carried out substantial checks to see if a security system could be justified. The checks gave a result ranging from 17 per cent to 40 per cent. On the question of what is most likely to be stolen, Keele argues that equations on loss often neglect the fact that books in some subject areas are more likely to be stolen and new acquisitions are particularly in danger. Keele suggests that, if a 2 per cent loss figure is a assumed, it is probably fair to assume 1.5 per cent loss in new acquisitions, a 0.5 per cent loss of older material. Some other 'facts' and figures which have appeared in published form (though sometimes only in newspapers and, as they misquote me, they probably do the same to everyone else) are :  a questionnaire on library vandalism by a student at Brighton in 1988 shows that 50 per cent of libraries consulted said their service was affected by vandalism;  Lewisham Library apparently shuts when Millwall are playing at home;  Overall, as we would expect, metropolitan libraries had more security problems than rural and suburban ones;  Brent Council, according to press reports, lost 411.000 items over four years. Value £4m. Similar reports quote 20.000 lost books in Liverpool (£100.000). Glasgow lends 6.5m books each year and loses 26.000 (that's of course a very low loss rate if it is correct). What subjects are most likely to be stolen or mutilated? From public libraries, manuals on motor cars and health manuals go missing to a frightening degree. From academic libraries, law publications are seemingly most at risk – understandable given their cost and the pressure on law students to get information quickly. In an article in the Record [4] last year I put forward some estimates of what theft and misuse in libraries is costing us. Given an absolute minimum loss rate of 2 per cent from 150 million books in UK libraries (there are a lot more) and a replacement cost of £20 per volume, a loss figure of £60m is reached. The truth is probably far nearer £100m. The loss rate is almost certainly between 1 and 10 per cent for most libraries. Some libraries without protection systems can reach 30 or 40 per cent. One library quoted in the literature claims to have lost 110 per cent one year : everything it bought that year was stolen; they bought further books and they were stolen. It is vitally important to know the real cost of theft and misuse. Some excellent work done by Andy Stephens at the British Library as part of the Enright review of acquisition and retention policies [5] is of great benefit in this area. Life-cycle costing principles were first developed in the US national defence industry, where traditionally budgeting for, say, a tank only took account of original manufacturing costs, not running, repair, maintenance or crew training costs. Life-cycle costing says that you look at the entire picture, the whole life of the item, then you know its real costs. Though the leap from defence procurement to library services is not one willingly made by many librarians, the truths of life-cycle costing are blindingly obvious. Each item of information in a storage systems has an initial cost, a time-dependent cost and a usage cost. It is a fact that librarians steal books. Probably a great many books. Estimates suggest that one in three thefts is an inside job. In 1973 a Library of Congress employee stole 2000 books worth $25,000. in 1982 an LA public library employee had 10,000 books and was lucky to have anything left of this floor. One of the UK's most famous recent thieves was Norma Hague, a librarian with a penchant for fashion plates who employed razor and cheesewire in the British Library, the V&A, and at Liverpool and Birmingham public libraries. Hundreds of plates were taken, estimated damage £50,000. Hague got two years with 16 months suspended. A famous non-librarian case was the Ethiopian Seymour McLean, who 'liberated' books he considered holy from the British Library, SOAS and other institutions. He got nine months, with the court rejecting his argument that he had stolen the items to return them to Ethiopia.